JOMBANG — Bagi sebagian orang, kehilangan listrik sehari saja bisa bikin hidup berantakan. Tapi bagi Nur Hayati, warga Desa Dapurkejambon, Kecamatan Jombang, mati listrik bukan cuma soal gelap — tapi soal nasib.
Agustus lalu, petugas PLN datang ke rumahnya tanpa pemberitahuan. Tak ada surat peringatan, tak ada “cek dulu, Bu”. Tiba-tiba, klik, aliran listrik diputus. Alasan mereka sederhana sekaligus absurd: ada lubang di bawah penutup kWh meter, yang oleh PLN dikategorikan sebagai pelanggaran golongan 2, alias dugaan pencurian listrik.
“Saya tidak tahu siapa yang bikin lubang itu. Saya ini orang awam, Mas. Tiba-tiba petugas PLN datang dan langsung memutus aliran listrik rumah saya,” kata Nur, masih heran.
Heran yang beralasan, karena sejak 2017 dia rutin bayar tagihan listrik sekitar Rp150 ribu per bulan. Tapi tiba-tiba, PLN menuduhnya “nyolong daya” selama delapan tahun dan menagih denda Rp6,9 juta.
#Logika PLN: Pelanggan Salah Sampai Terbukti Tak Bersalah
Beberapa jam setelah pemutusan, Nur dipanggil ke Kantor PLN ULP Jombang. Di sana ia menerima surat cinta dari negara berbentuk angka: Rp6.944.015. Itu bukan tagihan listrik, tapi denda pelanggaran.
Dan seperti biasa, PLN tidak repot-repot membuktikan apakah pelanggan benar-benar mencuri. Lubang dianggap bukti. Tak peduli apakah itu akibat usia meteran, binatang kecil, atau bahkan kesalahan teknisi saat pemeriksaan.
Dalam sistem PLN, pelanggan selalu salah dulu. Dan begitu kata “pencurian” keluar dari mulut petugas, pelanggan berubah status — bukan lagi konsumen, tapi tersangka tanpa pengadilan.
“Saya ini bayar tiap bulan, nggak pernah nunggak. Tapi malah dituduh mencuri sejak 2017. Rasanya nggak adil,” ujar Nur.
#Denda yang Tak Masuk Akal
Nur akhirnya dipaksa menyetor uang muka Rp2,2 juta, sisanya dicicil lewat tagihan bulanan.
Padahal, ia bukan pengusaha besar, bukan pemilik pabrik, cuma ibu rumah tangga dengan suami buruh harian.
Kalimatnya yang paling telak, “Suami saya cuma kuli, Mas. Kadang buat makan aja susah. Tapi sekarang harus nyicil denda. Saya merasa ini nggak adil.”
Dan di titik ini, kita harus bertanya, apa tujuan sebenarnya dari PLN? Menertibkan pelanggan atau mencari pendapatan tambahan dari denda yang tak transparan?
Sebab, kalau benar PLN punya bukti kuat, kenapa tidak ada pemeriksaan bersama atau uji forensik meteran? Kenapa pelanggan tak diberi salinan berita acara pemeriksaan? Kenapa semuanya begitu cepat — datang, tuduh, putus, denda — seperti sinetron bersambung yang skripnya sudah diatur sepihak?
#Lubang di Meteran, Lubang di Sistem
Kasus Nur bukan yang pertama. Di banyak daerah, pelanggan kecil kerap jadi korban “tegas tapi timpang” dari PLN. Petugas datang dengan seragam dan meteran portable, tapi jarang datang membawa rasa keadilan.
Yang diserang selalu pelanggan kecil, karena paling gampang. Sementara kebocoran daya di proyek besar, tower, atau instansi — entah mengapa — sering diselesaikan “secara internal”.
Lubang di bawah kWh meter mungkin bisa diperbaiki dengan obeng. Tapi lubang dalam sistem pengawasan PLN? Itu tampaknya butuh keberanian lebih dari sekadar petugas lapangan.
#Negara Terlalu Gagah di Hadapan yang Lemah
Perkara di Jombang ini bukan yang pertama, dan tampaknya belum akan jadi yang terakhir.
Sudah terlalu sering PLN tampil gagah di hadapan rakyat kecil, seolah-olah ketegasan hanya bisa dibuktikan dengan menakut-nakuti yang tak berdaya.
Belum lama ini, sebagaimana dikutip Kompas (26/4/2025), seorang penjual gorengan di Kecamatan Diwek, Masruroh, tiba-tiba mendapat tagihan listrik sebesar Rp12,7 juta. Kasusnya mirip, tuduhan pelanggaran tanpa penjelasan memadai, dan warga kecil lagi-lagi harus menanggung beban sistem yang tak transparan.
Nur Hayati kini tetap membayar listrik, sambil mencicil denda yang bahkan ia tak paham asalnya. Listrik di rumahnya memang sudah menyala, tapi rasa percaya kepada negara yang seharusnya melindungi malah padam pelan-pelan.
PLN seharusnya tidak cuma gagah menagih, tapi juga adil dalam menuduh. Sebab listrik itu bukan hadiah dari negara, melainkan hak publik. Dan kalau sistem ini terus dibiarkan timpang, jangan kaget kalau nanti yang benar-benar “nyolong” bukan pelanggan yang bikin lubang di meteran—tapi negara yang diam-diam mencuri rasa aman rakyatnya sendiri.***