ENAM ORANG aktivis dari Komunitas Brantas Mbois dan Ecoton berdiri di depan Balai Kota Malang. Bukan mau menuntut kenaikan gaji, bukan pula mau bikin konten TikTok viral. Mereka datang dengan pesan yang lebih serius, menyelamatkan sungai.
Sebuah mobil bak terbuka mereka jadikan panggung mini, dengan tulisan besar di sisinya: “KALI BRANTAS BEBAS DARI MIKROPLASTIK.” Di depannya, para aktivis memegang berbagai poster berwarna mencolok bertuliskan: “SUNGAI BUKAN TEMPAT SAMPAH,” “MIKROPLASTIK CEMARI TUBUHMU,” “MENUNTUT HAK-HAK SUNGAI BRANTAS,” dan “AWAS AIR SUNGAI INI TERCEMAR.”
Huruf-huruf kapital besar itu bukan tanpa alasan, mereka ingin memastikan pesan ini terbaca jelas oleh siapa pun, terutama oleh para pejabat di dalam Balai Kota Malang yang gedungnya berdiri megah tepat di belakang mereka.
Bagi warga Malang yang masih menganggap sungai cuma saluran air besar, aksi ini bisa bikin garuk kepala. Musim hujan baru saja datang, dan seperti biasa, air kali tak hanya mengalirkan debit air, tapi juga debit plastik.
Dari Kali Amprong, dari Metro, semua bermuara ke Brantas. Di kawasan Muharto, Kedungkandang, Brantas bahkan sudah berubah jadi tempat sampah raksasa. Setiap kali hujan turun, air membawa “warisan” plastik menuju hilir, menumpuk di Sengguruh.
“Brantas itu bahan baku PDAM bagi beberapa kota di Jawa Timur. Malang Raya ini di hulu, jadi benteng terakhir. Kualitas airnya harus memenuhi baku mutu kelas dua. Menurut PP 22 Tahun 2021, sungai itu harus nihil sampah,” kata Moh. Alaika Rahmatullah, koordinator kampanye Ecoton, dengan nada antara prihatin dan geregetan.
#Dari Mata Air Kehidupan ke Bak Sampah Terapung
Kali Brantas dulu punya cerita romantis. Di masa lalu, sungai ini jadi sumber irigasi, tempat anak-anak main air, dan simbol kemakmuran. Tapi seiring waktu dan minimnya akal sehat, sungai ini berubah jadi saksi bisu kebiasaan buruk manusia, membuang apa pun yang dianggap “tak berguna.”
Sekarang, Brantas bukan lagi tempat mencari inspirasi, tapi tempat plastik mencari pelabuhan terakhir. Aktivis Brantas Mbois mencatat, sampah-sampah plastik dari Kali Amprong dan Metro terbawa ke Brantas, lalu membentuk semacam pulau mini di permukaan air. Ada ember, sandal, bahkan sisa popok.
Di Muharto, warga menjadikan tepi sungai sebagai lokasi pembuangan “darurat.” Begitu hujan turun, air jadi kurir setia yang mengantar sampah ke Sengguruh.
“Kami lihat langsung, arusnya penuh plastik. Bukan cuma sisa rumah tangga, tapi juga limbah pasar dan industri kecil,” ujar Dialan Sono, salah satu aktivis Brantas Mbois.

#Layanan Sampah, Barang Mewah di Kota
Tak adil juga kalau semua disalahkan ke warga. Sebab dalam aksi itu, Brantas Mbois menyoroti fakta yang lebih dalam, tidak adanya layanan sampah yang memadai. Di beberapa kawasan, truk pengangkut datang seminggu sekali, itu kalau datang. Di tempat lain, warga harus bayar iuran mahal untuk layanan tak rutin.
“Tidak adanya layanan sampah dan minimnya kesadaran membuat warga menjadikan sungai sebagai tempat sampah,” kata Dialan.
Inilah lingkaran setan yang klasik, pemerintah lamban menyediakan layanan, warga pun ambil jalan pintas, lalu sungai menanggung akibat. Ketika hujan deras datang, semua “sampah domestik” itu hanyut ke hilir. Akhirnya, sungai yang dulu jadi sumber air malah berubah jadi saluran buangan.
Lebih gawat lagi, penelitian Ecoton menunjukkan bahwa air Sungai Brantas dan sumber-sumber air di Malang Raya sudah tercemar mikroplastik. Jadi, kalau kamu minum air dari PDAM, kemungkinan besar kamu sedang meneguk plastik dalam dosis mikro, lengkap dengan rasa ironi.
#Pemerintah Lalai, Hukum Bicara
Tak cuma menyalahkan perilaku warga, para aktivis juga menuding kelalaian pemerintah. Menurut Alex, sapaan Moh. Alaika Rahmatullah, pemerintah daerah dan pusat terbukti lambat menindak pencemaran sungai.
Ia mengutip putusan Mahkamah Konstitusi Agustus 2025 yang menolak peninjauan kembali dari Gubernur Jawa Timur dan Menteri PU, dan justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya 12/2019 dalam kasus ikan mati massal di Kali Brantas.

“Dengan putusan MA itu, Gubernur, Menteri LH, dan Menteri PU terbukti melawan hukum karena lalai mengendalikan pencemaran Kali Brantas. Mereka wajib melakukan pemulihan, penegakan hukum, memasang CCTV di outlet buangan pabrik, dan meminta maaf kepada warga Jawa Timur,” tegas Alex.
Pernyataan itu menampar realitas, pemerintah punya kewenangan, tapi tak cukup kemauan. Sungai terus kotor, ikan mati, warga minum air beraroma plastik. Semua dibiarkan berjalan seperti biasa.
#Dari Aksi ke Ajakan: Sungai Bukan Tempat Sampah
Brantas Mbois dan Ecoton tak berhenti di aksi simbolik. Mereka menyerukan agar warga berhenti membuang sampah ke sungai, mendesak Pemkot Malang segera membuat regulasi pengurangan plastik sekali pakai, serta menyediakan layanan pengelolaan sampah yang memadai.
“Kami ingin pemerintah serius. Bukan cuma kampanye di medsos, tapi ada tindakan nyata,” ujar Alex. Ia juga mengajak masyarakat membangun bank sampah di tingkat RT dan RW, dan menghidupkan kembali gerakan zero waste yang mulai dilupakan.
Dalam aksi di depan Balai Kota, para aktivis mengakhiri demonstrasi dengan doa kecil di tepi sungai. “Kami ingin sungai ini hidup lagi,” kata Dialan pelan.
Karena pada akhirnya, sungai bukan hanya soal air yang mengalir. Ia adalah cermin cara manusia memperlakukan rumahnya sendiri. Dan kalau rumah itu sudah dipenuhi sampah, mungkin yang perlu dibersihkan pertama kali bukan hanya sungainya, tapi juga nurani kita.***