KALAU dulu orang bilang hujan itu berkah, sekarang kita mungkin perlu revisi sedikit, hujan itu juga bisa jadi polusi. Dan bukan polusi sembarangan, tapi mikroplastik, serpihan kecil plastik hasil ulah tangan manusia yang kini ikut muter di siklus air dan udara.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) baru-baru ini ngumumin hasil penelitian yang bikin kita ngelus, air hujan di berbagai wilayah Indonesia ternyata mengandung mikroplastik. Iya, hujan yang kita sambut dengan tangan terbuka itu, mungkin juga menurunkan serpihan dari sedotan, tas kresek, atau ban motor yang aus di jalanan.
Selamat datang di zaman di mana langit ikut nyampah.
#Dari Berkah Jadi Plastik
BRIN menemukan bahwa di kawasan pesisir Jakarta, rata-rata ada 15 partikel mikroplastik per meter persegi per hari yang turun bersama hujan. Itu artinya, setiap kali hujan deras mengguyur, sebagian dari yang menetes ke wajahmu bisa jadi bukan air murni, tapi plastik cair hasil gaya hidup modern.
Fenomena “hujan mikroplastik” ini bukan cuma cerita sains yang susah dicerna, tapi cermin dari peradaban konsumtif yang kelewat nyaman. Plastik terasa seperti oksigen—murah, ringan, dan selalu ada. Kita beli kopi pakai gelas plastik, makan nasi bungkus plastik, dan belanja pakai tas plastik. Semua serba instan, dan yang tertinggal bukan cuma kenangan, tapi juga serpihan kecil abadi di udara.
Ironinya, plastik itu sekarang balik lagi ke tubuh kita. (Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) dan Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dalam risetnya Mei–Juli 2025 di 18 kota Indonesia menemukan, di Jakarta Pusat, rata-rata 37 partikel mikroplastik terdeteksi setiap dua jam di zona pernapasan manusia (1–1,5 meter dari tanah). Jakarta Selatan, 30 partikel. Bandung, 16. Semarang, 13. Jadi kalau napas terasa berat tiap pagi, mungkin paru-parumu lagi jadi tempat nongkrong partikel plastik.
#Dari Api ke Langit, Turun Lagi Jadi Hujan
Mikroplastik itu nggak cuma beterbangan kayak debu. Ia bisa naik ke atmosfer lewat pembakaran sampah, asap kendaraan, atau gesekan ban, lalu terbawa angin, ngumpul di awan, dan…taraaa, turun lagi bareng hujan. BRIN menyebut proses ini sebagai “deposisi basah”, semacam karma alam dalam wujud cair.
Menurut data ECOTON dan SIEJ, sekitar 57 persen masyarakat Indonesia masih melakukan pembakaran terbuka sampah plastik. Padahal, tiap api yang nyala itu melepaskan ribuan partikel plastik mikroskopis ke udara. Jadi jangan heran kalau nanti cucianmu kering tapi bau plastik, bukan sabun.
Lucunya, kita sering nyalahin pabrik besar. Padahal, pabrik mikroplastik paling aktif itu ya… rumah kita sendiri. Tiap kali kamu bakar sampah di halaman, jemur pakaian sintetis, atau nyalain motor ke minimarket depan gang, kamu sedang ikut “menyemai awan plastik”.
Dan efeknya nyata. Di Sungai Tembuku, Jambi, ECOTON menemukan 79 persen mikroplastik berbentuk serat (fibre) dalam sampel air sungai setelah hujan. Artinya, hujan plastik nggak berhenti di atap rumah. Ia lanjut ke sungai, ke laut, ke ikan, lalu balik lagi ke meja makanmu. Selamat menikmati sambal ikan goreng rasa daur ulang.
#Payung Bocor Bernama Regulasi
Masalah terbesar kita sebenarnya bukan plastiknya, tapi ketidakpedulian yang sistemik. Regulasi soal mikroplastik di Indonesia masih kayak payung bocor pas hujan deras, ada, tapi nggak ngelindungi.
Sejak 2017, ECOTON sudah mendorong pemerintah bikin baku mutu mikroplastik untuk air, udara, tanah, dan biota. Tapi sampai sekarang, standar itu belum lahir. Kita sibuk ngitung polusi udara dari knalpot, tapi lupa kalau plastik juga bisa terbang dan bernapas bareng kita.
Sementara itu, beberapa daerah malah bangga pas punya “tungku pembakar sampah plastik jadi energi alternatif.” Kedengarannya keren, tapi hasilnya? Mikroplastik gratis untuk semua!
#Antara Takdir dan Logika
Sering kali, waktu muncul berita kayak gini, reaksi spontan kita adalah, “Yah, namanya juga takdir. Dunia sudah tua.” Padahal, kalau mau jujur, bukan langit yang menua, tapi akal sehat kita yang melemah.
Menjadikan polusi sebagai takdir adalah bentuk malas berpikir. Takdir itu hujan turun karena gravitasi dan siklus air. Tapi hujan mikroplastik? Itu bukan takdir, itu hasil keputusan manusia, dari kebiasaan membakar sampah sampai menolak aturan pembatasan plastik sekali pakai.
Kita yang bikin, tapi ketika akibatnya datang, kita berlindung di balik kata “qadarullah” atau mungkin yang lain bilang, “God’s plan”, Sudah rencana Tuhan. Padahal, kalau benar-benar percaya pada Tuhan, mestinya kita juga percaya bahwa akal dan tanggung jawab adalah bagian dari iman.
#Langit Sedang Menagih Akal Sehat
Fenomena hujan mikroplastik ini bisa jadi peringatan paling simbolik, langit sedang memantulkan perbuatan kita. Kita buang plastik ke bumi, sekarang langit menurunkannya kembali. Karma ekologis dalam bentuk rintik.
Jadi, sebelum kita nyalahin cuaca, mungkin lebih baik kita mikir logika sederhana, “Kalau yang kita bakar plastik, yang kita buang plastik, dan yang kita hirup juga plastic. Ya jangan kaget kalau nanti yang turun dari langit pun plastik.”
Hujan seharusnya membawa berkah, bukan bahan kimia. Tapi kalau kita masih pura-pura bego dan terus menyalahkan takdir, jangan salahkan Tuhan kalau suatu hari nanti payungmu bukan untuk air, tapi untuk menangkis partikel plastik.
Langit sudah menagih tanggung jawab. Sekarang giliran kita yang harus berpikir: mau tetap berdoa minta hujan berkah, atau mulai berhenti menyemai awan plastik?***