Lewati ke konten

“Sampah Sayang”: Ketika Ibu-Ibu Jombang (Baru) Mengajari Pemerintah Cara Cinta Lingkungan

| 4 menit baca |Ide | 6 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Denny Saputra Editor: Supriyadi

DI JOMBANG, Jawa Timur, urusan sampah kini bukan cuma soal tempat pembuangan akhir, tapi juga soal perasaan. Nama programnya manis, “Sampah Sayang.” Lucu juga, ya. Biasanya kita disuruh buang sampah, tapi kali ini justru diajak “sayang” sama sampah.

Program yang diprakarsai TP PKK Kabupaten Jombang bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) ini resmi dicanangkan lewat rangkaian Jombang Fest 2025. Ada talkshow sinergi, penandatanganan kerja sama, sampai flashmob. Karena di zaman sekarang, gerakan sosial sepertinya belum sah kalau belum ada tarian massal.

Talkshow ini menghadirkan tiga narasumber, Kepala DLH Jombang Miftahul Ulum, Wakil Ketua II DPRD Jombang Octadella Billytha Permatasari, dan Santi dari komunitas Sanggar Hijau Indonesia.

Mereka sepakat, mengelola sampah bukan cuma urusan tukang angkut, tapi urusan semua orang, terutama para ibu yang setiap hari berhadapan dengan plastik, kantong belanja, dan minyak jelantah.

#Urusan Lingkungan Dimulai dari Dapur, Bukan dari Rapat

Kepala DLH Jombang, Miftahul Ulum, membuka diskusi dengan kalimat diplomatis tapi menggigit, “Kepedulian terhadap lingkungan bisa dimulai dari rumah tangga, digerakkan oleh para ibu, dan diperkuat oleh kebijakan pemerintah untuk masa depan anak-anak kita.”

Kalimat itu terdengar bijak, tapi kalau dibaca pelan-pelan, bisa diterjemahkan, “Tolong dong, jangan semua diserahkan ke kami.”

Ulum menambahkan, DLH sudah menerapkan kebijakan pembatasan plastik sekali pakai sejak 2022. Toko modern sudah diatur, dan selanjutnya giliran pasar tradisional yang bakal disasar.

“Mudah-mudahan dengan sinergi PKK, ibu-ibu Jombang ke depan bisa belanja tanpa kantong plastik. Pengelolaan sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga kesadaran bersama,” katanya.

“Mudah-mudahan”. Dua kata yang sering terdengar setiap kali pemerintah bicara soal kebijakan yang belum juga turun ke lapangan. Karena, ya, di Indonesia, kantong kresek itu sudah kayak hak konstitusional.

#Octadella: Dari Tukang Rosok ke Bank Sampah

Wakil Ketua II DPRD Jombang, Octadella Billytha Permatasari, tampil dengan gaya yang lebih personal. Ia menceritakan sang ibu, Yuliati Nugrahani, Ketua TP PKK Jombang, yang ternyata bukan cuma sibuk rapat, tapi juga turun tangan memilah sampah dari rumah.

“Di rumah, Ibu Yuli selalu menekankan pemilahan sampah. Bahkan sampai kerja sama dengan tukang rosok,” katanya sambil tertawa.

Bukan hanya di rumah, Octadella juga menerapkan hal yang sama di pesantren miliknya.

“Santri yang menyerahkan sampah terpilah ke bank sampah akan mendapat insentif. Dari kecil mereka sudah belajar bahwa kebersihan itu bukan cuma soal sapu dan pel,” ujarnya.

Ia juga memperkenalkan inisiatif baru, kerja sama TP PKK dengan perusahaan pengelola minyak jelantah.

“Minyak bekas goreng ayam atau tempe, jangan dibuang ke selokan. Setorkan saja ke bank sampah, nanti ada insentifnya.”

Langkah kecil tapi signifikan. Karena kalau ekonomi sirkular ingin berhasil, mungkin titik awalnya bukan dari PowerPoint kementerian, tapi dari wajan dapur.

#Santi: Komunitas Itu Mesin Pengingat

Dari sisi komunitas, Santi dari Sanggar Hijau Indonesia berbicara dengan nada yang lebih realistis.

“Kami ini seperti alarm. Mengingatkan terus masyarakat agar semangat mengelola sampah. Tapi ya, kadang alarmnya di-snooze juga.”

Ia menegaskan pentingnya aksi nyata setelah seremoni. “Talkshow seperti ini bagus, tapi yang paling penting itu tindak lanjut. Masyarakat mau berubah kalau lihat contoh nyata. Jadi jangan cuma foto bareng spanduk, lalu pulang dan minum pakai sedotan plastik,” katanya sambil tersenyum getir.

#Kampanye yang Belum Dapat Respon

Di akun Instagram resminya, @dlhjombang menulis dengan semangat emoji daun:

“ Jombang siap berubah! Yuk, ramaikan kegiatan Pencanangan Sampah Sayang!”
Tapi sayangnya, 22 jam berselang, kolom komentarnya masih sepi. No comments yet.

Sebuah potret klasik kampanye lingkungan di Indonesia, ramai di poster, sepi di partisipasi. Padahal jargon mereka manis: “Sampah disayang, lingkungan cemerlang, keluarga senang.”
Tapi mungkin masyarakat masih berpikir, “sampah disayang, tapi siapa yang mau ngangkut?”

#Sampah dan Cinta yang Sama-Sama Butuh Komitmen

Nama Sampah Sayang memang terdengar romantis, tapi sekaligus ironis. Sebab urusan sampah jarang bisa selesai hanya dengan talkshow dan spanduk hijau. Tapi di Jombang, ada secercah harapan. Karena yang memulai bukan birokrat, melainkan para ibu yang sudah muak melihat plastik bersarang di got depan rumah.

Mereka tidak menunggu instruksi, tidak butuh seremoni. Mereka cuma butuh keikhlasan, memilah, mengurangi, dan menyadari bahwa bumi ini bukan warisan, tapi titipan.

Sampah, pada akhirnya, bukan soal kotoran yang dibuang, tapi soal kesadaran yang dipungut.

Dan seperti cinta, urusan ini juga butuh komitmen, bukan sekadar unggahan Instagram dengan caption “#JombangResik”.***

 

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *