KOTA MOJOKERTO – Di Pemkot Mojokerto, jabatan bukan cuma urusan struktural—kadang bisa juga jadi bahan tebak-tebakan rakyat jelata. Begitulah yang terjadi ketika seleksi terbuka alias selter diumumkan pekan ini. Sepuluh kursi jabatan pimpinan tinggi pratama (JPTP) resmi dilelang. Tapi anehnya, dari sebelas kursi yang kosong, ada satu yang mendadak tak ikut ditawarkan, kursi inspektur. Begitulah dikutip Radar Mojokerto, Selasa (7/10/2025).
Iya, yang satu ini entah kenapa seperti “kursi sakral” yang tak tersentuh. Padahal, posisi inspektur itu bukan jabatan sembarangan. Ia adalah penjaga moral birokrasi, pengawas internal, semacam CCTV-nya pemerintah. Tapi lucunya, CCTV-nya malah dimatikan duluan.
#Satu Kursi yang Menghilang
Kabar ini pertama kali mencuat dari bocoran sumber di lingkungan Pemkot. “Yang lowong sebenarnya sebelas,” katanya. Tapi yang dilelang cuma sepuluh. Nah, di situlah publik mulai main tebak-tebakan.
Apakah karena jabatan inspektur ini sudah “dipesan”? Atau mungkin sedang disimpan untuk plot twist berikutnya dalam drama ASN Mojokerto?
Yang jelas, dari daftar selter yang dibuka sejak Kamis (2/10/2025), nama inspektur tak tampak di mana pun. Padahal, yang lain sudah ramai-ramai antre ikut lelang jabatan—dari kepala BPKPD, DLH, DPUPR Perakim, Dinkes PPKB, hingga Satpol PP dan Dishub. Bahkan dua kursi staf ahli pun ikut dibuka. Tapi inspektur? Raib.
Yang bikin makin menarik, sampai berita ini beredar, baik Sekda Gaguk Tri Prasetyo maupun Kepala BKPSDM Muraji sama-sama memilih diam. Pesan WA dari wartawan? Tak dibalas. Mungkin sedang sibuk memilah “strategi komunikasi”—atau memang pura-pura tidak baca, seperti kebanyakan pejabat ketika pesan mulai berisi tanda tanya.
#Ketika Jabatan Jadi Drama Bersambung
Kalau melihat kebiasaan birokrasi kita, jabatan sering kali lebih rumit dari drama Korea. Kadang ada plot armor, kadang ada karakter yang “ngilang” tanpa kejelasan. Nah, jabatan inspektur ini tampaknya sedang memainkan peran misterius itu.
Padahal, dalam sistem pemerintahan, inspektur adalah posisi penting untuk memastikan tak ada anggaran nyasar, program ngadi-ngadi, atau tanda tangan tanpa dasar. Tapi ya itu tadi, yang penting justru tak segera diisi.
Tak pelak, publik pun mengibaratkan situasi ini seperti adegan film. Kalau ini film, judulnya bisa “Satu Kursi Tak Bertuan: Investigasi yang Tak Dimulai.” Kalau ini sinetron, mungkin sudah masuk episode ke-57, di mana tokoh utamanya belum juga muncul di layar.
“Lha piye, wong kursine kosong tapi kok ra dilelang. Opo wes ono sing ndelokne disik?”
celetuk Sukat, warga Jagalan, Kranggan, yang dikenal gemar membahas politik lokal di warung kopi. Saat itu, ia sedang nongkrong di Jatirejo, kawasan Kabupaten Mojokerto—tempat gosip pemerintahan kadang lebih panas dari kopi tubruk yang disajikan.
Celetukan itu disambut tawa para pengunjung warung, tapi di balik tawa itu ada rasa heran yang menggantung. Sebab publik mulai bertanya-tanya: apakah jabatan inspektur ini benar-benar kosong, atau sudah “ditempati secara spiritual”?
Sampai saat ini, Pemkot Mojokerto belum memberi penjelasan resmi. Tapi satu hal yang pasti: selter kali ini mengajarkan kita bahwa dalam birokrasi, ada jabatan yang bisa dilelang terbuka, dan ada yang tetap… tertutup rapat.
Ya, mungkin inilah seni bermanuver di pemerintahan: bukan siapa yang cepat, tapi siapa yang tahu kapan harus diam.***