Lewati ke konten

Sepak Bola Kita: Tradisi Kegagalan yang TSM (Terstruktur, Sistematis, Masif), dan Selalu Menguntungkan yang Punya Jabatan

| 4 menit baca |Rekreatif | 8 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Ulung Hananto Editor: Marga Bagus

SURABAYA – Dulur-dulur sekalian, Sampeyan tahu kan kalau sepak bola di negeri ini itu punya keunikan yang tak dimiliki negara lain? Kita ini nggak butuh Piala Dunia buat merasa spesial. Kita punya sesuatu yang lebih sakral, lebih abadi, dan lebih mengakar dari sekadar trofi emas: tradisi kegagalan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Dan hebatnya, dalam setiap kegagalan, selalu ada satu pemenang abadi—para penghuni Senayan dan kantor-kantor federasi, yang kini selfie dengan angle sedih sambil caption “Kita tetap bangga.”

#Gagal Lagi? Alhamdulillah, Ini Identitas Nasional!

Timnas kita gagal lagi menembus Piala Dunia? Alhamdulillah. Ini bukan kegagalan, ini penegasan jati diri bangsa. Kita bangsa yang cinta drama, penikmat kerumitan, dan paling anti sama yang namanya kemudahan.

Coba bayangkan kalau kita benar-benar lolos Piala Dunia. Euforianya cuma sebentar. Setelah itu, para politisi kehilangan stok gimmick nasionalisme buat kampanye. Tapi kalau gagal? Nah, ini dia! Surga konten! Kita bisa main “blaming game” selama empat tahun ke depan, sambil tetap menjaga kursi empuk federasi yang isinya lebih banyak jenderal, komisaris, dan politisi daripada pelatih berlisensi.

Di Indonesia, sepak bola itu bukan olahraga. Ia adalah ritual nasional, di mana rakyat berteriak “Garuda di dadaku!” sementara yang di gedung-gedung tinggi berbisik “Tender di tasku.”

#Sepak Bola, Alat Kontrasepsi Politik Paling Efektif

Kalau ada yang bilang tujuan sepak bola itu mencetak prestasi, wah, sampeyan kurang ngopi. Tujuan utama sepak bola di negeri ini adalah alat kontrasepsi politik—buat mencegah rakyat kebanyakan hamil oleh isu-isu besar negara.

Begitu ada masalah berat, utang negara membengkak, harga beras naik, atau Jakarta makin macet kayak antrian minyak goreng—tinggal lempar isu bola. Dikit-dikit “Timnas kita sedang berjuang!”, “Garuda bangkit!”, “Kita bisa!”. Publik pun auto amnesia.

Kursi ketua umum federasi kita itu bukan buat orang yang paham offside atau formasi false nine. Tapi buat orang yang paham cara mengatur citra publik. Mereka sibuk bikin narasi, bukan strategi. Visi mereka lebih mirip janji kampanye Pilkada daripada rencana pengembangan pemain muda.

Lihat saja pola klasiknya:

  1. Momen Kampanye: Pejabat A datang ke stadion, salaman sama pemain, selfie dengan jersey, lalu berkata heroik, “Saya akan bawa Timnas ke pentas dunia!”
  2. Momen Menang (Kebetulan): Pejabat A muncul di TV lagi, klaim keberhasilan sebagai hasil “visi kepemimpinan beliau.” Caption: #SemangatPersatuan.
  3. Momen Gagal (Tradisi): Pejabat A mendadak hilang. Akun medsosnya cuma upload foto lama saat potong pita jembatan. Lalu muncul juru bicara bilang, “Kami mohon maaf, ini ujian mental. Evaluasi total.”

Evaluasi total, tapi kok orangnya tetap itu-itu saja?

#Rapat Evaluasi, Rapat Klarifikasi, Rapat Pengalihan

Begitu kegagalan resmi diumumkan, suporter sejati yang cuma mampu beli kopi saset dan jersey KW pun menangis di warung. Sementara itu, di ruang rapat ber-AC Jakarta, para petinggi federasi sedang menghitung jatah jabatan baru.

Mereka bikin rapat Exco (yang katanya evaluasi, tapi lebih mirip podcast klarifikasi). Hasilnya? Sudah bisa ditebak, tidak ada yang salah. Pelatih dipecat—tentu dengan pesangon lumayan. Pemain dihujat—karena gampang, murah, dan bisa viral. Tapi kursi politisi di federasi? Aman!

Mereka kebal kritik seperti skin premium di game online: mahal, mengkilap, dan tidak bisa dihapus.

#Yang Bertanggung Jawab Adalah… Cermin

Ketika kita bertanya, “Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini?” Jawabannya sederhana, tapi menyakitkan, Cermin.

Coba berdiri depan cermin. Siapa yang Anda lihat di sana? Ya, Anda sendiri.

Anda yang masih beli jersey KW, karena “yang ori kemahalan.” Anda yang masih percaya politisi yang janji “reformasi sepak bola,” padahal di bidang lain prestasinya nihil. Anda yang masih berharap sistem busuk ini akan berubah, padahal dirancang untuk tidak pernah berubah.

Di negeri ini, korbanlah yang paling bertanggung jawab. Sementara para King Maker dan King of Blaming sudah siap menepis kritik dengan tameng janji dan lobi politik.

#Dan Begitulah, Drama Empat Tahunan Dimulai Lagi

Gagal ke Piala Dunia bukanlah akhir segalanya, tapi justru opening scene dari drama baru: perebutan kursi federasi jilid berikutnya.

Politisi tetap sehat. Kantong tetap tebal. TV tetap menampilkan mereka dengan kemeja putih dan senyum “merakyat”.

Dan kita? Tetap bersorak, tetap kecewa, tetap berharap—karena memang itu yang membuat sepak bola Indonesia tetap hidup: bukan prestasi, tapi ilusi.

Maka, mari kita angkat gelas kopi saset kita dan bersulang bersama, “Untuk sepak bola Indonesia: gagal lagi, gagal terus, tapi tetap jadi trending topic!”

Atau versi sarkasmenya, “Sepak bola mati, politik jaya!”***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *