Lewati ke konten

Setelah Musala Al Khoziny Sidoarjo Ambruk, Pemkab Mojokerto Sadar: Iman Tak Bisa Gantikan Insinyur

| 4 menit baca |Sorotan | 1 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Fio Atmadja, Supriyadi Editor: Supriyadi

MOJOKERTO – Musala Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo ambruk. Bukan karena gempa, bukan juga karena angin kencang, tapi karena—seperti banyak bangunan lain di negeri ini—fondasinya mungkin lebih banyak doa daripada semen.

Tragedi itu menelan korban jiwa. Dan seperti pola klasik yang sudah sering terjadi di Indonesia, baru setelah genting jatuh dan tembok runtuh, pemerintah ramai-ramai turun ke lapangan sambil membawa clipboard dan kalimat “kami akan evaluasi.”

Getaran dari Sidoarjo itu sampai juga ke Mojokerto. Pemerintah Kabupaten Mojokerto, lewat Bupati Muhammad Al Barra, langsung memerintahkan pemeriksaan menyeluruh terhadap bangunan pondok pesantren di wilayahnya.

“Sudah kami koordinasikan dengan Kemenag dan Dinas PUPR,” katanya.

Kalimatnya terdengar tegas, tapi jujur saja—kata “koordinasi” di telinga publik kadang sudah setara dengan “masih akan dibicarakan lebih lanjut.”

#Izin Mendirikan Bangunan, Bukan Izin Mendirikan Keajaiban

Menurut data Kementerian Agama Kabupaten Mojokerto, ada sekitar 100 hingga 200 pesantren yang sudah masuk sistem Education Management Information System (EMIS). Semuanya akan diperiksa kondisi fisiknya.

Langkah ini penting, karena selama ini banyak pondok pesantren tumbuh bukan dari proyek pemerintah, tapi dari sumbangan jamaah dan keikhlasan warga. Dindingnya dibangun dari hasil patungan, lantainya dari niat baik, atapnya dari harapan agar hujan tidak terlalu deras.

Masalahnya, niat baik tidak bisa menahan gaya gravitasi. Bangunan, seberapa religius pun aktivitas di dalamnya, tetap tunduk pada hukum fisika, bukan hukum fikih.

Bupati Gus Barra bilang sudah menggandeng Dinas PUPR untuk memastikan konstruksi tiap pondok aman.

Kalau ini benar dijalankan dengan serius, maka ini langkah maju. Karena selama ini, yang sering diaudit itu cuma laporan BOS dan dana hibah, bukan tiang bangunan dan kualitas cor.

#Satu Indonesia, Cuma 50 Pesantren yang Legal

Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo juga ikut buka data yang cukup bikin alis terangkat. Sebagaimana dikutip Tempo, Selasa (7/10/2025), dari lebih 42 ribu pesantren di Indonesia, hanya 50 yang punya izin mendirikan bangunan (IMB).

Ya, lima puluh. Jumlah yang bahkan kalah banyak dari kafe berdesain industrial di satu kelurahan.

Artinya, kalau semua pesantren dikumpulkan di lapangan besar, yang legal secara bangunan mungkin cuma tenda kecil di pojokan, sisanya berdiri dengan semangat, keyakinan, dan sedikit keteguhan beton.

Dody berjanji akan melakukan evaluasi. “Kami pelan-pelan bereskan soal kualitas bangunan,” katanya.

Pelan-pelan, tentu. Karena di negeri ini, kata “pelan-pelan” sering kali artinya “sampai lupa kapan mulai.”

Yang ironis, bangunan pendidikan agama—tempat ribuan santri menimba ilmu, belajar sabar, dan menghafal doa—justru paling sering berdiri tanpa izin resmi. Entah karena proses perizinan yang ruwet, biaya yang tinggi, atau karena keyakinan bahwa, “yang penting niatnya baik, nanti Allah bantu.”

Masalahnya, bantuan Tuhan sering datang lewat logika dan struktur besi yang benar.
Bukan lewat dinding yang disangga doa dan cat sumbangan.

#Kalau Bangunan Roboh, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Bagi banyak keluarga, pondok pesantren bukan sekadar tempat belajar. Di sanalah anak-anak tidur, mengaji, tumbuh besar, bahkan belajar sabar saat air kamar mandi cuma menetes satu-satu.

Mereka hidup di sana, menjadikan pondok sebagai rumah kedua—kadang bahkan satu-satunya rumah yang mereka punya.

Karena itu, ketika bangunan pesantren roboh, yang runtuh bukan cuma tembok dan genting, tapi juga kepercayaan publik terhadap keseriusan pemerintah menjaga keselamatan warganya.

Langkah Pemkab Mojokerto untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh tentu patut diapresiasi. Tapi publik berharap ini bukan cuma inspeksi musiman yang muncul setiap kali ada bangunan ambruk jadi trending di grup WhatsApp RT.

Harus ada langkah nyata: pendampingan teknis, pelatihan membangun yang aman, sampai birokrasi izin yang lebih manusiawi bagi pesantren kecil. Karena kalau proses izin saja butuh surat rekomendasi dari tujuh lembaga dan waktu tiga purnama, jangan heran kalau banyak pondok memilih jalur spiritual ketimbang administratif.

Bupati Muhammad Al Barra alias Gus Barra bilang, Pemkab sudah gerak cepat.

“Kami sedang membentuk tim khusus untuk mengecek kondisi bangunan-bangunan di pesantren. Jika ditemukan ada ketidaklayakan, kami akan memberikan saran agar bangunan tidak dipakai sementara. Pelaksanaan pengecekan bakal dilakukan mulai hari ini. SK sudah kami buat dan segera dijalankan,” jelas Gus Barra.

Langkah ini penting, karena tidak semua pondok punya akses ke konsultan arsitektur. Sebagian besar hanya punya tukang yang hafal surah Al-Ikhlas dan tahu cara ngukur pakai feeling.

Padahal, santri di dalamnya butuh tempat aman untuk berdoa dan tidur, bukan sekadar bangunan yang “alhamdulillah masih berdiri.”

Dan kalau pesantren masih harus berdiri di antara dua pilihan—izin yang rumit atau takdir yang cepat—berarti kita sedang gagal memahami makna sesungguhnya dari pendidikan dan perlindungan.

Pemerintah sering bicara soal membangun sumber daya manusia yang unggul dan beriman. Tapi mungkin, iman itu juga butuh atap yang kuat dan tembok yang tidak goyah.

Sebab di negeri ini, kebijakan sering datang setelah reruntuhan. Dan seperti biasa, tragedi jadi pintu masuk kebijakan baru—sayangnya, pintunya baru diketuk setelah puing-puingnya keburu jadi berita.***

 

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *