DI KABUPATEN BULUKUMBA, Sulawesi Selatan, ada sungai bernama Balantieng yang dulu cuma dikenal karena airnya jernih dan sawahnya subur. Sekarang, namanya makin sering disebut bukan karena jadi tempat piknik baru, tapi karena jadi pusat gerakan masyarakat yang sadar, kalau tidak dijaga, air bening itu bisa berubah jadi nostalgia.
Ketika tim ECOTON datang dan menguji air Sungai Balantieng, hasilnya bikin lega, “Tidak tercemar.” Spontan, orang-orang yang hadir tepuk tangan. Bukan karena drama, tapi karena rasa sukur, di tengah berita tentang sungai-sungai yang berubah jadi saluran plastik cair, ternyata masih ada air yang layak disebut sungai.
Balantieng mengalir sepanjang 53 km, dari pegunungan Bawakaraeng sampai ke pantai Bulukumba. Airnya menghidupi pertanian, jadi sumber air bersih, dan jadi bagian dari tradisi warga. Tapi di balik itu, ada juga ancaman pelan-pelan, sampah dan mikroplastik yang mulai muncul di beberapa titik. Ibarat tubuh sehat, Balantieng belum sakit, tapi mulai batuk kecil.
#Dari Desa ke Desa, Lahir Kawasan “Merdeka Sampah”
ECOTON, Teras Mitra, dan Makara Foundation dengan dukungan dari GF Small Grant Program turun tangan. Mereka tidak datang bawa tong sampah ajaib, tapi bawa pelatihan, pendampingan, dan ide bisnis hijau.
Tiga wilayah jadi pionir, Desa Batu Karopa, Desa Anrang, dan Kelurahan Ela-ela. Tujuannya sederhana tapi berat, menyelesaikan masalah sampah dari sumbernya.
Sampai pertengahan 2025, dari total 323 ton sampah per hari di Bulukumba, cuma 40 ton yang berhasil masuk ke TPA Borong Manempa. Sisanya? Ada yang dibakar, tercecer, atau mampir dulu ke sawah dan sungai.
Di Ela-ela, warga mendirikan bank sampah dan toko isi ulang (refill store). Di sini, plastik bukan musuh, tapi tantangan. Mereka jual produk tanpa kemasan, sistemnya: “Bawa wadahmu sendiri.”
Slogan mereka bisa jadi pelajaran nasional, “Refill dulu sebelum bumi penuh.”

#Para Perempuan, Petani, dan Anak Sekolah yang Tak Mau Diam
Kalau ada yang bilang penyelamat bumi itu cuma ilmuwan, mungkin belum pernah kenal ibu-ibu Korsa (Komunitas Merdeka Sampah) di Desa Batu Karopa. Mereka bosan melihat sampah dibakar di pinggir sawah, karena mereka tahu: kalau sawah rusak, panen menurun, penghasilan ikut amblas.
Andi Fatmawati, Ketua Komunitas Merdeka Sampah (Korsa), mengatakan bahwa kondisi lahan yang tercemar sampah membuat pihaknya merasa perlu turun tangan memberikan penyuluhan kepada warga.
“Kalau kondisinya sudah seperti ini, otomatis kita harus memberikan penyuluhan ke warga agar sampah tidak lagi masuk ke lahan. Karena kalau lahannya sudah tercemar, kesuburannya menurun, produksi pertanian ikut menurun, dan pada akhirnya pendapatan petani juga terdampak,” ujarnya, Sabtu (25/10/2025).
Korsa kini mengelola bank sampah sebagai pusat edukasi warga sekaligus tempat menampung sampah plastik agar tidak lagi berakhir di saluran irigasi maupun sungai.
“Salah satu fungsi bank sampah ini adalah menampung sampah dari warga atau petani di sekitar, supaya mereka tidak lagi membuangnya ke pengairan atau ke sungai. Botol-botol plastik dibawa ke sini, kemudian ditimbang. Korsa juga rutin melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk memilah sampah dan tidak membuangnya sembarangan,” jelas Andi Fatmawati.
Tak berhenti di situ, mereka juga membuka toko isi ulang untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Sementara di Desa Anrang, Kepala Desa ikut turun tangan dan memasukkan program bank sampah ke dalam anggaran desa tahun 2025.
Gerakan ini menjalar hingga ke sekolah-sekolah sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Balantieng. Pelajar di SMP dan madrasah mulai meneliti mikroplastik, ikut lomba karya ilmiah, bahkan audiensi ke DPRD Bulukumba. Isu yang mereka bawa sederhana tapi kuat, “Sungai Balantieng harus jadi bahan ajar di sekolah!”
Mereka memang belajar IPA, tapi di saat yang sama mereka juga belajar jadi warga negara yang peduli pada sungai dan masa depan lingkungannya.
#Deklarasi Kampung Merdeka Sampah dengan Aksi Nyata
Kepala Desa Anrang, Ismail menjelaskan, setelah acara di Pelabuhan Leppe, pihaknya langsung menindaklanjuti dengan kegiatan bersih-bersih desa sebagai langkah awal menuju kampung bebas sampah.
“Kami langsung tindak lanjuti di Desa Anrang. Kami libatkan seluruh stakeholder di desa, mulai dari staf desa, BPD, kader PKK, dan kader Posyandu. Kami juga bekerja sama dengan Yayasan Ecoton,” ujarnya.
Kegiatan ini, lanjut dia, bukan sekadar membersihkan lingkungan, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa sampah memiliki nilai ekonomi.
“Tujuannya untuk memberikan motivasi ke masyarakat Desa Anrang, supaya mereka melihat bahwa sampah itu ada nilainya. Jadi bukan hanya dikumpulkan, tapi juga bisa dimanfaatkan. Ini diharapkan bisa memotivasi warga agar lebih giat menjaga kebersihan kampung dan tidak membuang sampah sembarangan,” tambahnya.

Sebagai bentuk komitmen, Pemerintah Desa Anrang telah mengalokasikan anggaran dana desa tahun 2025 untuk pembangunan bank sampah dengan nilai delapan juta rupiah.
“Di anggaran dana desa tahun 2025, kami sudah siapkan sekitar delapan jutaan rupiah untuk pembangunan bank sampah. Harapan kami, dengan adanya deklarasi ini dan fasilitas bank sampah yang akan dibangun, Desa Andrang benar-benar bisa terbebas dari sampah,” pungkasnya.
Gerakan ini menjadi bagian dari inisiatif masyarakat dan pemerintah desa di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Balantieng, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang berupaya mendorong perubahan perilaku warga dalam mengelola sampah dari sumbernya.
#Dari Festival Tiga Sungai, Kita Belajar Soal Kolaborasi
Gerakan menjaga sungai ini tak berhenti di laboratorium sekolah. Warga, komunitas, seniman, hingga Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bulukumba ikut bergandengan tangan dalam Festival Tiga Sungai 2025, yang digelar pada Sabtu, 28 Juni 2025.
Festival ini menghadirkan pameran, pentas budaya, dan bazar jajanan tanpa plastik. Suasananya penuh semangat sekaligus haru, bagaimana orang dari berbagai latar akhirnya sepakat bahwa “sampah adalah musuh kita bersama.”
Ketua Panitia Festival Tiga Sungai, Edil Faizin, mengenang momen itu sebagai salah satu pengalaman paling berkesan. Ia berharap festival serupa bisa terus digelar dengan satu tekad, menjaga sungai tetap bersih dan bebas dari pencemaran.
“Saat itu, sekitar 283 ton sampah per hari di Bulukumba tidak terkelola dengan baik. Ini bukan cuma masalah lingkungan, tapi ancaman terhadap hidup kita sendiri,” ujarnya. “Perubahan memang lambat, tapi kalau semua bergerak bersama, sungai ini nggak akan sendirian lagi.”
Sungai Balantieng mungkin hanya satu dari ribuan sungai di Indonesia, tapi kisahnya menegaskan satu hal, perubahan bisa dimulai dari langkah kecil, asal tidak berhenti di niat.
Dari tepuk tangan untuk air yang masih jernih, hingga lahirnya ide membuka toko isi ulang di desa. Desa Balantieng mengajarkan bahwa menjaga bumi bukan soal hal besar, tapi tentang kesadaran sederhana, tidak membuang sampah sembarangan.***