KALAU kalian pikir sungai di tengah kota cuma jadi tempat romantis buat selfie, coba jalan kaki sebentar ke Jembatan Muharto, Kota Malang. Di bawah jembatan yang mestinya jadi simbol peradaban itu, Sungai Brantas sudah berubah jadi tong sampah raksasa, lengkap dengan aroma anyir dan bonus mikroplastik.
Komunitas Brantas Mbois bersama relawan muda dari Jaringan Gen Z Jawa Timur Tolak Plastik Sekali Pakai (JEJAK) melakukan susur Sungai Brantas di beberapa titik, di antaranya Polehan, Jembatan Muharto, dan Kebalen Wetan pada Minggu (18/10/2025).
Hasilnya? Mereka tak cuma menemukan tumpukan sampah, tapi juga tumpukan yang sangat ironi.
#Sungai Sebagai Tempat Sampah Resmi
“Warga bebas membuang sampah di Brantas, dari jembatan, dari dapur, bahkan dari jendela rumah,” ujar Afrianto Rahmawan, koordinator Brantas Mbois, sambil menunjuk plastik kresek yang tersangkut, di tiang jembatan.
Tak cuma sampah rumah tangga, tapi juga buangan air kakus, limbah rumah potong ayam, dan segala bentuk kotoran yang bisa kalian bayangkan (dan sebaiknya tidak). Anak-anak di sekitar masih mandi di sungai yang sama. “Airnya keruh, berbusa, baunya anyir, tapi mereka tetap main. Itu realita,” lanjut Afrianto.
Sampah yang mendominasi di sepanjang aliran sungai antara lain popok sekali pakai dan styrofoam, disusul tas kresek, sisa sayuran, botol dan gelas mineral, juga mie instan. Kalau sampah bisa ikut Pemilu, mungkin dua jenis pertama sudah jadi calon unggulan.
#Mikroplastik Di Bawah Jembatan
Tim Brantas Mbois juga melakukan penelitian kecil di bawah Jembatan Muharto dan menemukan hasil yang bikin dahi berkerut. Kalau kamu mau baca, silakan:

“Ini bukan sekadar sampah kelihatan mata. Mikroplastik dari Brantas ini mengalir ke sungai-sungai lain, lalu ke sawah, lalu ke tubuh kita,” kata Afrianto.
#Kota Tanpa Angkut Sampah
Masalahnya, kebijakan lingkungan di tingkat kota sering berhenti di spanduk dan slogan, “Jangan Buang Sampah ke Sungai.” Nyatanya, tak ada sistem yang memastikan warga punya alternatif selain membuangnya ke Brantas.
Kata Afrianto, tidak ada layanan angkutan sampah maupun pengelolaan sampah di kawasan padat permukiman sekitar sungai ini. Rumah-rumah di bantaran akhirnya menjadikan Brantas sebagai “layanan pengelolaan sampah tercepat”, tinggal lempar. Gratis.

“Pemerintah Kota Malang sering bicara soal Malang Smart City, tapi lupa kalau smart itu juga soal sanitasi,” kritiknya. “Kalau wali kota mau, saya siap temani langsung susur sungai. Biar beliau lihat sendiri kondisinya, jangan cuma baca laporan PowerPoint saja.”
#Desakan Brantas Mbois, Pemerintah Absen
Brantas Mbois juga menuntut agar Menteri PUPR dan KLH segera turun tangan, karena persoalan ini sudah melewati batas kewenangan kota. “Jangan tunggu sampai Brantas jadi septic tank raksasa Jawa Timur,” kata Afrianto.
Mereka juga membuat rekomendasi resmi agar PUPR dan KLH tahu. Di antaranya:
- Tertibkan bangunan liar di bantaran sungai.
- Sediakan sarana dan layanan pengangkutan sampah di tiap kelurahan.
- Lakukan patroli dan penegakan hukum terhadap pelaku pembuangan sampah ke sungai.
Brantas Mbois juga mengingatkan, air Sungai Brantas dipakai oleh 14 kota/kabupaten untuk suplai PDAM dan kebutuhan rumah tangga. Hulu sungai ini berada di Desa Sumber Brantas, Kota Batu, kemudian mengalir ke Kota Malang dan Kabupaten Malang. Jadi, kalau warga Kota Malang buang sampah, efeknya bisa sampai ke Mojokerto, Jombang, Sidoarjo hingga Surabaya.
#Sungai Juga Punya Hak
Kita sering bicara soal hak manusia, hak hidup layak, hak lingkungan bersih. Tapi lupa, sungai juga punya hak. Yaitu hak untuk mengalir tanpa dicekik sampah, tanpa dibebani limbah, tanpa dijadikan tempat buang sisa-sisa gaya hidup kita yang serba cepat.
“Sungai punya hak sebagai ruang ekologis dan penunjang ekonomi masyarakat,” kata Afrianto. Ia mengingatkan, banyak warga yang bergantung pada sungai untuk kehidupan sehari-hari, dari mencari ikan, mengairi sawah, sampai mengambil air bersih.
Sayangnya, selama masih ada yang berpikir sungai itu “tempat yang bisa dibersihkan kapan saja,” maka Brantas akan terus jadi korban diam-diam dari ketidakpedulian kolektif.
Kalau pemerintah masih sibuk rapat tanpa turun ke lapangan, dan warga masih menganggap sungai sebagai tong sampah besar, mungkin suatu hari nanti air PDAM kita akan terasa “krenyes.”
Dan ketika itu terjadi, jangan salahkan siapa-siapa. Sungai sudah lama memberi peringatan, kita saja yang pura-pura tuli.***