MOJOKERTO – Ada pemandangan absurd di Mojokerto yang bikin jidat otomatis mengernyit. Bayangkan, ada tambang galian C ilegal, lokasinya persis di bawah jaringan Sutet Jawa–Bali. Jadi, di satu sisi ada aktivitas gali-menggali tanah, di sisi lain di atasnya melintas kabel listrik raksasa yang tiap hari nyetrumin separo Jawa.
Warga yang tinggal di Dusun Mendek. Desa Kutogirang, Ngoro, Mojokerto, sudah resah. Suara alat berat meraung tiap hari, jalan desa porak poranda dilewati truk pasir, dan debu beterbangan kayak efek samping film Mad Max. Bukan cuma soal lingkungan, ini urusan keselamatan. Sutet itu bukan tiang bendera, goyang dikit, bisa bikin blackout setengah pulau.
Yang bikin heran, kok bisa-bisanya ada tambang ilegal berdiri tegak di area sesensitif itu? Bukannya harusnya ada larangan super ketat di bawah jalur Sutet? Lha wong, main layangan aja kadang dilarang. Apalagi nambang tanah pakai alat berat.
“Lingkungan terganggu, jalan berdebu, petani ke sawah pun terganggu. Padahal pernah dipantau Mabesm(Polri), tapi tambang tetap buka lagi,” ujar Hariyono, warga desa setempat, Rabu, (1/10/2025).
#Tambang Ilegal, Pola Klasik
Kalau sudah ngomong tambang ilegal, biasanya ada pola klasik, warga teriak, aparat turun, ada spanduk larangan, tapi entah kenapa ekskavator masih tetap bunyi. Rasanya kayak nonton sinetron, gonta-ganti episode, tapi ending-nya ya begitu-begitu aja.
Masalah tambang ilegal ini bukan cuma urusan “siapa yang ambil untung”, tapi juga “siapa yang siap nanggung rugi”. Kalau nanti Sutet ambruk gara-gara tanahnya digerogoti, yang kena bukan cuma orang Ngoro, tapi juga pengguna listrik di Jawa–Bali. Jadi, ini bukan lagi tambang lokal, tapi tambang nasional… nasional bikin sengsara.
#Warga Protes, Malah Kena Intimidasi
Warga yang protes malah ada yang dapat intimidasi. Jadi kalau di film superhero ada adegan warga teriak “tolong”, datang pahlawan. Di Mojokerto kebalik, warga teriak, malah ditekan.
Bupati Mojokerto, Gus Barra, bilang beliau ikut resah, tapi nggak bisa berbuat banyak. Wewenang izin ada di pusat. Jadi ya paling banter bisa “bersurat” ke kementerian. Itu pun entah dibalas atau nyangkut di tumpukan map.
Ironisnya, larangan main layangan di bawah Sutet itu ketat banget. Tapi nambang pakai alat berat? Masih bisa jalan. Jadi kalau dipikir-pikir, layangan ternyata lebih berbahaya dari ekskavator.
Mungkin memang benar kata orang kampung, tambang ilegal itu kayak tuyul. Semua orang tahu ada, semua orang bisa lihat dampaknya, tapi kalau ditanya siapa yang melindungi, semua mendadak diam.
Kalau dibiarkan, Mojokerto bisa jadi bahan skripsi mahasiswa hukum, “Studi Kasus tentang Negara yang Kalah Sama Tambang Ilegal.”
#Main Kucing-kucingan, Benarkah?
Lucunya, dari sekian banyak tambang di Mojokerto, yang legal cuma… sembilan. Sisanya? Ya gitu, main kucing-kucingan. Pernah ada pemantauan dari Mabes Polri, lengkap sampai malam. Tambang sempat berhenti. Eh, begitu aparat pulang, ekskavator kembali bunyi. Kayak konser dadakan, berhenti kalau ada polisi, lanjut kalau sepi.
“Kadang kami heran, kok tambang ilegal ini lebih tahan banting daripada polisi, tutup sebentar polisi pergi, langsung buka lagi. Kayak angkringan tengah malam, tutup pas hujan, buka lagi pas reda,” ucap warga lainnya sambil nyengir pahit.
Warga lain menambahkan, kadang mereka merasa kayak hidup di film laga. “Kalau truk-truk lewat, sawah bergetar kayak kena gempa. Belum lagi intimidasi kalau ada yang protes. Rasanya kok kayak kami yang salah, padahal yang ilegal kan tambangnya,” ujarnya sambil merasa heran.***