SURABAYA – Kalau kamu pikir yang bisa bikin trending cuma drama Korea dan gosip selebritas, kamu belum lihat Indonesia marah. Kali ini bukan karena perselingkuhan seleb, tapi karena tayangan Trans7 — tepatnya program Xpose Uncensored — yang menyinggung soal “feodalisme” di Pondok Pesantren Lirboyo. Dan seperti biasa, begitu kata “pesantren” dan “ulama” masuk dalam perbincangan, warganet langsung berubah jadi pasukan siber berjubah moral dan avatar ustaz-ustaz digital.
Seruan boikot terhadap Trans7 pun menggema di jagat maya, seolah-olah remote TV adalah simbol perlawanan budaya. Dari grup WhatsApp alumni pondok sampai ruang debat X (Twitter), semua rame. Ada yang bilang Trans7 sudah “kurang ajar”, ada pula yang berusaha tenang sambil bilang, “Ya mungkin maksudnya kritik sosial.” Tapi ya, seperti biasa, yang tenang kalah viral sama yang marah.
#“Kita Ini Gampang Panas, Susah Tamasya Pikiran”
Menurut Maulina Pia Wulandari, Ph.D., dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya, Malang, fenomena ini bukan sekadar soal tayangan TV, tapi soal refleksi bangsa yang masih gagap berpikir kritis. “Reaksi publik menunjukkan fragmentasi dalam kemampuan berpikir kritis masyarakat kita, terutama saat isu itu bersinggungan dengan agama dan budaya,” ujarnya ke beritajatim.com (17/10/2025).
Dengan kata lain, kita ini cepat percaya, tapi malas periksa. Tayangan dua menit bisa langsung dianggap bukti penghinaan, tanpa nonton konteks penuh. Lalu muncul tagar #BoikotTrans7, seolah-olah tombol “unsubscribe” bisa menyelamatkan iman dan akal sehat sekaligus.
Pia juga menilai kalau kemarahan publik ini memperlihatkan benturan antara dua dunia, nilai tradisional pesantren dan cara pandang modern media. Trans7, katanya, “menggunakan lensa feodalisme Barat untuk membaca praktik keagamaan Nusantara.” Dan hasilnya? Ya seperti menonton film Jepang pakai subtitle Korea—salah tafsir sejak awal.
#“Takzim Itu Bukan Feodal, Bro”
Menurut Pia, kesalahan terbesar Trans7 adalah gagal memahami konteks budaya pesantren. Tradisi ngesot, mencium tangan, atau menunduk di hadapan kiai bukanlah tanda feodalisme, tapi ekspresi takzim—penghormatan kepada ilmu dan spiritualitas. “Kritik sosial sah-sah saja, tapi jangan disajikan dengan framing yang melecehkan,” katanya tegas.
Lha iya, di dunia pesantren, mencium tangan guru itu bagian dari adab. Kalau itu dibilang feodal, berarti semua anak yang sungkem ke orang tua pas lebaran juga kena pasal feodalisme.
Masalahnya, program itu tampak lebih ingin “menggugat” daripada memahami. Dalam dunia media, itu kayak datang ke rumah orang buat wawancara tapi malah nyolong sandal di teras.
#Permintaan Maaf yang Terlambat dan Framing Media yang Kayak Bumbu
Trans7 akhirnya minta maaf. Tapi, menurut Pia, permintaan maaf itu muncul setelah tekanan publik meledak. “Permintaan maaf seharusnya disampaikan secara proaktif, dengan empati terhadap pihak yang tersinggung,” katanya.
Sayangnya, permintaan maaf yang datang telat itu kayak teman yang baru ngaku salah setelah semua grup WA udah bubar. Bukan karena sadar, tapi karena sadar diserang.
Pia juga mengingatkan bahwa framing media punya kekuatan besar. Sekali framing-nya salah, bisa-bisa masyarakat marah ke yang salah. Dan di negeri yang lebih suka membaca caption ketimbang artikel, framing yang miring bisa lebih tajam dari pisau silet.
#Mari Ngopi Dulu Sebelum Marah
Pia menutup dengan ajakan sederhana tapi sulit dipraktikkan: berpikir jernih. “Bertabayun dan berdialog jauh lebih bijak daripada reaksi emosional,” ujarnya. Tapi ya, di tengah arus medsos yang lebih cepat dari WiFi kampus, ajakan untuk “tabayun” sering kalah cepat dari tombol share.
Karena di Indonesia, berita belum tentu benar, tapi perasaan harus selalu ikut serta.
Kesimpulannya adalah, drama ini sebetulnya bukan antara Trans7 dan Lirboyo, tapi antara akal sehat dan nafsu klikbait. Satu pihak sibuk membela tradisi, satu lagi sibuk mengejar rating. Dan di tengah-tengahnya, masyarakat cuma butuh satu hal sederhana, secangkir kopi dan waktu lima menit untuk mikir sebelum ikut marah.***