Lewati ke konten

Udara Kita Nggak Cuma Berdebu, Tapi Juga Berplastik: Temuan Mikroplastik di 18 Kota Bikin Paru-Paru Nggak Tenang

| 6 menit baca |Ekologis | 9 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Ecoton Editor: Supriyadi

KALAU kamu selama ini berpikir udara kotor cuma soal polusi dari knalpot dan pabrik, siap-siap kecewa. Karena ternyata, ada “bumbu tambahan” baru yang ikut masuk ke paru-paru. mikroplastik.

Peneliti dari Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) bareng Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) baru aja ngumumin hasil penelitian yang dilakukan Mei–Juli 2025. Mereka nemuin bahwa udara di 18 kota di Indonesia udah tercemar mikroplastik.

Dan yang bikin tambah miris, penyumbang terbesar ternyata berasal dari aktivitas pembakaran sampah plastik.

Jadi, waktu ada yang nyalain api di halaman belakang buat “membersihkan” sampah plastik, yang ikut terbang bukan cuma asap, tapi juga partikel plastik mikroskopis yang melayang entah ke mana, bisa jadi ke ruang tamu kita, atau langsung ke paru-paru.

Peneliti mikroplastik Ecoton Rafika Aprilianti bilang, mikroplastik ini gampang banget nyebar di udara, apalagi di wilayah padat penduduk yang masih sering bakar sampah. Sekali terbakar, plastik melepaskan partikel-partikel halus yang ukurannya di bawah 10 mikrometer. Artinya, terlalu kecil buat disaring hidung, tapi cukup kecil buat nyelonong masuk ke saluran napas paling dalam.

“Dan ini bukan cuma di Jakarta atau Surabaya,hasil pengamatan kami di berbagai kota dari barat sampai timur Indonesia menunjukkan fenomena yang sama, udara yang tampak bersih bisa jadi penuh plastik tak kasat mata,” kata Rafika, Jumat (24/10/2025).

 

#Udara Kita Kini Berbumbu Plastik

Tabel hasil penelitian Ecoton dan SIEJ barusan bikin banyak orang mikir dua kali sebelum nyalain api di tong sampah belakang rumah. Soalnya, ternyata pembakaran sampah plastik jadi penyumbang terbesar mikroplastik di udara.

“Sebanyak 55% sumber mikroplastik di udara berasal dari kegiatan pembakaran sampah plastik, sedangkan sektor transportasi menyumbang 33%, disusul kegiatan laundry dan tumpukan sampah kemasan yang tak terkelola,” jelas Rafika Aprilianti, Kepala Laboratorium Mikroplastik Ecoton.

Artinya, setiap kali ada yang nyalain api buat “beresin” sampah plastik, yang terbang ke langit bukan cuma asap, tapi partikel plastik mungil yang siap nyusup ke mana-mana, termasuk ke paru-paru kita.

Rafika menjelaskan, setiap aktivitas manusia punya sidik jari plastiknya sendiri. Dari hasil uji Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), bisa diketahui bahwa jenis polimer yang muncul berbeda tergantung sumbernya, Polyester sering muncul dari laundry dan tekstil, Polyolefin dari kantong kresek dan kemasan makanan, PTFE dari kabel listrik atau lapisan anti lengket, dan Polyamide (Nylon) biasanya berasal dari jaring ikan serta pakaian sintetis.

Setiap serpihan kecil di udara ternyata punya cerita tentang gaya hidup kita — dari baju yang kita pakai, makanan yang kita bungkus, sampai sampah yang kita bakar. Dan pelan-pelan, semuanya kembali ke paru-paru kita, jadi “aroma tambahan” di udara yang katanya masih segar.

#Menebak Asal-usul Plastik dari Udara yang Kita Hirup

Dalam penelitian Ecoton dan SIEJ Indonesia mencoba menelusuri dari mana saja asal si mikroplastik ini. Prosesnya nggak main-main. Pertama, mereka pasang cawan petri di tiga titik berbeda di setiap kota buat nangkep partikel udara.

Kedua, hasilnya diperiksa pakai mikroskop Olympus CX dengan pembesaran 400x, buat memastikan itu bukan debu biasa, tapi benar-benar plastik super kecil. Tahap terakhir, yang paling krusial, identifikasi polimer pakai alat bernama FTIR.

Kenapa penting banget tahu jenis polimernya? Karena dari situ bisa ditebak, mikroplastik itu lahir dari aktivitas apa. Misalnya, polietilena (PE) biasanya dari tas kresek atau plastik kemasan, polistirena (PS) dari styrofoam; atau polipropilena (PP) dari peralatan rumah tangga. Tiap partikel kecil di udara itu kayak sidik jari yang bisa nunjuk siapa “pelakunya”.

“Setiap jenis polimer meninggalkan jejak berbeda. Dari hasil identifikasi, kita bisa tahu apakah partikel itu berasal dari pembakaran plastik, aktivitas transportasi, atau limbah rumah tangga,” ujar Rafika. “Kalau polimernya dominan dari plastik sekali pakai, itu artinya perilaku konsumsi dan cara buang kita masih jadi masalah utama.”

Dan begitulah, produk-produk plastik yang kita pakai sehari-hari, tas belanja, gelas kopi, bungkus makanan, pelan-pelan berubah jadi partikel halus berbasis minyak bumi. Lalu mereka terbang, melayang, dan tanpa sadar kita hirup setiap hari.

Udara bersih tampak mustahil kalau plastik masih dibakar seenaknya. Tapi mungkin, dengan tahu dari mana mereka datang, kita bisa mulai menutup kerannya, sedikit demi sedikit, sebelum paru-paru kita benar-benar berubah jadi tempat sampah mikroskopis.

#Polimer yang Berkisah tentang Asal-usul Plastik di Udara
Enam Sumber, Satu Masalah yang Sama

Kalau udara bisa bicara, mungkin dia bakal bilang, “Aku capek jadi tempat buangan plastik kalian.”

Karena menurut hasil identifikasi polimer mikroplastik di udara dari 18 kota pengamatan Ecoton dan SIEJ, sumber utamanya ternyata bukan dari laut, bukan dari pabrik raksasa, tapi dari kebiasaan membakar sampah plastik.

Yep, aktivitas yang sering dianggap sepele itu terdeteksi di 55,6% kota yang diteliti. Artinya, lebih dari separuh kota di Indonesia masih punya “tradisi” asap plastik di pagi hari. Dari perumahan padat, kawasan industri, sampai gang-gang sempit tempat tungku bakar jadi solusi instan buat timbunan sampah. Padahal, setiap kali plastik dibakar, partikel halus dari polyolefin, polyethylene (PE), polypropylene (PP), polybutene (PB), PTFE, dan polyester terlepas ke udara—dan akhirnya ikut kita hirup bareng oksigen.

Tapi pembakaran bukan satu-satunya biang kerok. Aktivitas rumah tangga dan kemasan sekali pakai juga ikut menyumbang 33,3%, terutama di kota-kota dengan tingkat konsumsi tinggi kayak Jakarta, Denpasar, dan Sidoarjo. Setiap bungkus mi instan, kantong belanja, dan cup kopi yang kita pakai sekali lalu buang, semuanya punya potensi jadi partikel kecil yang beterbangan di udara.

Lalu, aktivitas industri dan konstruksi nyumbang 27,8%. Di kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya, Palembang, dan Pontianak, sumbernya datang dari resin sintetis, cat berbasis polimer, sampai bahan bangunan yang ternyata juga bisa “berdebu” plastik.

Di sisi lain, laundry dan tekstil domestik (22,2%) ikut menambah beban. Serat sintetis dari pakaian yang kita cuci dan jemur tiap hari lepas ke udara dalam bentuk mikroplastik. Sementara aktivitas transportasi (16,7%) seperti gesekan ban, aspal, dan rel KRL ternyata juga jadi penyumbang tetap. Semakin padat lalu lintas, makin tebal “kabut plastik” yang kita hirup.

Bahkan sektor yang kelihatannya nggak bersalah seperti pariwisata (11,1%), perikanan (5,6%), dan pertanian (5,6%) pun ikut andil. Dari laundry hotel di Denpasar sampai pembakaran mulsa plastik di ladang Sumbawa—semuanya punya jejak partikel yang terbang dan tak terlihat.

#Stop Bakar Sampah Plastik, Sebelum Kita yang Terbakar

“Sekarang banyak sekali kegiatan pembakaran sampah secara terbuka dengan tungku bakar. Padahal, UU 18 Tahun 2008 sudah jelas melarang,” ujar Daru Setyorini, Direktur Ecoton.
“Pembakaran ini jadi sumber utama pencemaran mikroplastik di udara. Kalau kita mau udara bersih, hentikan dulu apinya, baru bicara soal solusi.”

Masalahnya, tumpukan sampah yang makin membludak bikin orang memilih cara paling cepat: bakar. Tapi solusi instan ini justru bikin paru-paru kita jadi korban jangka panjang. Karena setiap asap yang keluar bukan cuma abu, tapi mikroplastik yang bisa masuk ke sistem pernapasan dan bahkan aliran darah manusia.

Daru menambahkan, “Kalau terus dibiarkan, kita akan sampai di titik di mana udara yang kita hirup bukan lagi oksigen bersih, tapi campuran partikel plastik halus dari sampah yang kita bakar sendiri. Pemerintah harus tegas menegakkan hukum dan mendorong pengurangan sampah dari sumbernya. Bukan cuma imbauan, tapi tindakan nyata.”

Udara bersih memang kelihatan mustahil di negeri yang masih senang membakar plastik. Tapi kalau tahu siapa pelakunya, mungkin kita bisa mulai pelan-pelan menutup keran. Sebelum udara benar-benar jadi lautan plastik yang kita hirup setiap hari.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *