Lewati ke konten

Wakil Rakyat Hidup Sultan, Rakyat Hidup Susah: Paradoks yang Bikin Panas Dingin

| 6 menit baca |Opini | 5 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Denny Saputra Editor: Supriyadi

Dalam beberapa waktu terakhir, isu ketimpangan antara anggota DPR dengan rakyat biasa makin hari makin panas. Kalau biasanya demo mahasiswa cuma ditutup dengan bakar ban bekas di perempatan jalan, kali ini levelnya sudah naik kelas: rumah anggota DPR pun jadi sasaran penjarahan.

Yang jadi sorotan besar: rumah Ahmad Sahroni, anggota DPR dari Partai NasDem. Namanya sudah lama terkenal sebagai “Crazy Rich Tanjung Priok”, tapi kali ini kekayaannya justru berubah jadi simbol kemarahan publik yang sudah lama dipendam.

 #Koleksi Mainan Puluhan Juta, Jam Tangan Rp10 Miliar

Dari berbagai video viral dan liputan media, Sahroni diketahui punya koleksi barang mewah yang bikin netizen geleng kepala. Mulai dari mainan seharga puluhan juta rupiah, sampai jam tangan yang banderolnya bikin jantung copot: Rp10 miliar sebiji.

Bayangkan, rakyat biasa baru bisa nyicil jam tangan merek tetangga pakai paylater tiga bulan. Sementara beliau, koleksinya sudah setara harga satu komplek perumahan subsidi. Kalau ini bukan jurang sosial, mungkin memang kita sedang tinggal di dimensi paralel: rakyat hidup di dunia realistis survival mode, sementara wakilnya hidup di dunia fantasi sultan simulator.

Dan jangan salah, koleksi mainan puluhan juta itu bukan mainan edukatif anak-anak PAUD. Ini mainan kelas hobi orang kaya: bisa replika mobil balap, bisa action figure edisi terbatas. Harganya cukup untuk bikin satu RT kenyang sate ayam sampai lebaran haji.

 #Rakyat Susah, Wakilnya Malah Pamer Mewah

Yang bikin orang geram sebenarnya bukan cuma soal angka. Orang Indonesia sudah terbiasa hidup dengan tetangga yang lebih kaya. Biasa saja. Masalahnya: di tengah rakyat yang makin megap-megap menghadapi harga beras naik, cicilan makin mencekik, dan saldo rekening makin kurus, wakil rakyat justru hidup dalam realitas paralel penuh kemewahan.

Kalau rakyat sedang bingung pilih: “Mau bayar listrik atau beli minyak goreng?”, wakilnya sibuk galau: “Mau pakai Richard Mille yang hitam atau yang rose gold?”.

Ada ketimpangan yang begitu nyata, sampai bikin orang biasa jadi merasa sedang menonton reality show, bukan membaca berita politik. Bedanya, kalau reality show bisa ditinggal ganti channel, kehidupan sehari-hari rakyat jelata ini nggak ada tombol skip.

#Tunjangan Selangit, Bikin Rakyat Menjerit

Kehidupan sehari-hari rakyat biasa ini nggak ada tombol skip. Tagihan listrik datang terus, harga beras naik lagi, saldo rekening makin kurus. Nah, di sisi lain, anggota DPR justru hidup dengan versi “premium package”: ada tunjangan, ada gaji, ada fasilitas, semua serba unlimited.

Kita bisa bayangin betapa manjurnya tunjangan rumah Rp50 juta per bulan yang dijanjikan sampai 2029. Dan itu baru tunjangan rumah, lho. Kalau ditambah gaji, tunjangan lain, plus alokasi tambahan yang entah kenapa selalu ada—dan bikin rakyat menjerit, “ini posnya dari mana lagi?”—total penghasilan mereka bisa tembus Rp2,8 miliar per tahun.

Data 2025 bahkan lebih terang benderang: anggaran gaji dan tunjangan DPR mencapai Rp1,6 triliun buat 580 orang saja. Sempat sih ada kabar dipangkas, tapi jangan salah—take home pay paling rendah mereka masih nongkrong manis di angka Rp65 juta per bulan. Angka yang, buat rakyat biasa, cuma bisa hadir dalam bentuk mimpi, doa, atau draft Excel yang nggak pernah jadi kenyataan.

Dan itu belum termasuk “bonus” lain: dana kunjungan kerja Rp4,2 miliar per tahun buat jalan-jalan (eh, maaf: kunjungan resmi) ke dapil. Dengan duit segitu, satu anggota DPR bisa bolak-balik Jakarta–Papua naik kelas bisnis sampai bosan sama menu nasi ulam Garuda.

Bandingkan dengan rakyat biasa. Rata-rata UMR nasional 2025 cuma Rp3,1 juta per bulan. Jadi, gaji DPR paling kecil saja sudah 21 kali lipat UMR. Itu pun kalau dihitung buruh formal. Kalau ditengok pekerja nonformal—ojol, pedagang kaki lima, buruh harian—jurangnya makin nganga, kayak lumpur Lapindo yang nggak ketahuan kapan keringnya.

Gap ini bikin kita susah untuk bilang, “ya udahlah, rezeki orang beda-beda.” Karena yang dibicarakan bukan sekadar rezeki, tapi representasi: gimana mungkin orang dengan gaji 21 kali lipat UMR bisa benar-benar paham deg-degannya rakyat kecil waktu harga cabai naik seribu perak aja udah bikin isi dapur guncang?

#DPR: Wakil Rakyat atau Wakil Sultan?

Harusnya, anggota DPR jadi cermin kehidupan rakyat. Minimal ya paham bagaimana rasanya antre minyak goreng di Indomaret, atau panik ketika notifikasi rekening bunyi “saldo tidak mencukupi”. Tapi yang terjadi justru kebalikannya: mereka lebih mirip papan reklame berjalan untuk barang mewah.

Bukan soal rakyat dilarang kaya, bukan. Semua orang pasti pengin sejahtera. Tapi wajar kalau muncul pertanyaan: siapa sebenarnya yang mereka wakili? Rakyat kecil di kampung, atau kelas sosial elit yang hidupnya jauh dari realitas dapur rakyat?

Kalau terus begini, jangan-jangan sebutan “Wakil Rakyat” pelan-pelan harus diganti jadi “Wakil Sultan”. Bedanya, rakyatnya siapa? Ya rakyat istana, rakyat jet pribadi, rakyat mobil sport.

 #Ironi yang Bikin Panas Dingin

Yang bikin panas dingin adalah paradoks sehari-hari. Di satu sisi, DPR sering bicara soal empati pada rakyat kecil. Tapi di sisi lain, gaya hidup mereka justru seperti tokoh sinetron malam: rumah megah, mobil berjejer, arloji miliaran.

Ironi ini makin terasa ketika rakyat sedang panik harga sembako naik, pemerintah sibuk bahas strategi subsidi, sementara anggota DPR santai memamerkan koleksi jam tangan yang nilainya setara anggaran pembangunan satu desa.

Rakyat bisa apa? Mau marah, sudah lelah. Mau diam, makin sesak. Ujung-ujungnya ya jadi bahan sindiran di media sosial, meme, sampai hujatan digital. Tapi kali ini, kemarahan digital menjelma nyata: rumah sang “Crazy Rich” ikut jadi sasaran.

 #Politik, Uang, dan Jurang Sosial

Kalau ditarik lebih jauh, kasus Sahroni ini bukan sekadar gosip tentang pejabat kaya. Ini adalah cermin ketimpangan struktural. Politik dan uang memang akrab. Untuk bisa duduk di DPR, biaya yang keluar bukan receh. Dari ongkos kampanye, logistik tim sukses, sampai sumbangan sana-sini. Akhirnya, yang bisa masuk biasanya ya mereka yang sudah punya modal.

Hasilnya bisa ditebak: DPR jadi penuh orang kaya yang gaya hidupnya otomatis jauh dari rakyat. Mereka paham teori kesusahan rakyat, tapi tidak benar-benar merasakannya. Ibarat orang yang rajin nonton video survival, tapi tak pernah masuk hutan beneran.

 #Bukan Sekadar Soal Iri

Sebagian orang mungkin bilang: “Ya jangan iri sama orang kaya dong, rezeki orang beda-beda.” Betul. Tapi yang dipersoalkan bukan rasa iri. Ini soal representasi dan empati. Bagaimana mungkin orang yang hidupnya jauh di atas awan bisa benar-benar memahami penderitaan orang yang bahkan untuk makan sehari-hari harus ngutang ke warung?

Kalau anggota DPR terus-terusan tampil dengan gaya hidup glamor, sulit rasanya membayangkan mereka bisa duduk serius membahas solusi harga beras atau subsidi listrik. Bagaimana bisa mereka mengerti, kalau pengalaman paling dekat dengan “krisis” adalah saat jam tangan koleksinya telat servis?

 #Wakil Rakyat atau Wakil Diri Sendiri?

Kemarahan publik pada Sahroni mungkin hanya pintu masuk. Di luar sana, masih banyak anggota DPR yang hidup bak raja kecil. Rumah megah, mobil berderet, arloji mewah, liburan ke luar negeri. Semua tampak wajar bagi mereka, tapi jadi tamparan keras bagi rakyat yang terus disuruh sabar dan berhemat.

Pada akhirnya, pertanyaan klasik kembali muncul: apakah anggota DPR benar-benar wakil rakyat, atau sekadar wakil diri sendiri dengan label rakyat? Kalau jurang sosial ini terus dibiarkan, jangan salahkan kalau rakyat suatu hari memutuskan berhenti percaya—dan memilih mencari wakil lain yang benar-benar mau duduk di kursi, bukan di singgasana.***

 

Penulis: Denny Saputra, pegiat sosial di Jombang dan Founders Marhain Project

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *