KALAU negeri ini punya penghargaan untuk ironi paling pahit, mungkin pemenangnya sudah jelas: Piala Maba Sangaji 2025. Sebab di Maluku Utara, ada sebelas warga adat yang mempertahankan tanah leluhur justru dijatuhi vonis penjara lima bulan delapan hari oleh Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Kamis (18/10/2025).
Lucunya, atau tragisnya, mereka bukan penjahat lingkungan. Indrasani Ilham, Salasa Muhammad, Sahrudin Awat, Julkadri Husen, Alaudin Salamudin, Yasir Hi. Samad, Nahrawi Salamudin, Umar Manado, Hamim Djamal, Sahil Abubakar, dan Jamaludin Badi ditangkap bukan karena merusak hutan, mencemari sungai, atau menambang tanpa izin. Mereka ditangkap karena melawan tambang yang justru punya izin untuk merusak hidup mereka.
Negeri ini memang punya selera humor yang aneh. Sejak SD kita diajari “cintai alam dan lingkunganmu”, tapi ketika kita sungguh-sungguh melindunginya, kita malah dituduh “melawan hukum.”
Ucapan orang-orang di warung kopi jadi terasa benar, para pengelola negara bukan lagi pemimpin rakyat, tapi makelar izin tambang. Di Jawa, disebut broker tanah. Di Maluku Utara, mungkin lebih pas disebut perantara kehancuran.
#Negara yang Masih Bingung dengan “Adat”
Bagi warga Maba Sangaji, tanah bukan cuma hamparan di peta. Ia adalah hidup itu sendiri, tempat menanam, tempat dimakamkan, tempat menenun sejarah. Tapi di mata birokrat dan investor, tanah hanyalah deretan koordinat di dokumen IUP yang bisa berubah nasibnya dengan selembar surat dan stempel basah.
Ironisnya, izin tambang PT Position baru terbit tahun 2017. Sementara tanah adat Maba Sangaji sudah ada jauh sebelum republik ini punya lagu kebangsaan. Tapi di ruang sidang, yang dianggap “sah” justru surat izin, bukan sejarah panjang yang memberi makan manusia di atasnya.
Dalam logika sehat, yang berakar mestinya lebih kuat dari yang berizin. Tapi dalam logika investasi, yang bermodal selalu lebih suci dari yang menjaga.
Menurut catatan JATAM, sejak awal operasi PT Position, masyarakat Maba Sangaji menolak kehadiran perusahaan. Tambang itu beroperasi tanpa persetujuan warga, mencaplok hutan adat, mencemari sungai, dan menimbulkan kerusakan ekologis. Penolakan sudah berlangsung sejak akhir 2024. Kini, hutan rusak, kebun tergenang lumpur, sungai beracun.

#Tambang Selalu Menang, Rakyat Selalu Dituduh
Kisah Maba Sangaji bukan satu-satunya. Dari Kendeng, Wawonii, Luwu Timur, sampai Papua, polanya sama: tambang datang, warga menolak, aparat datang. Negara tampil bukan sebagai ibu yang melindungi, tapi satpam korporasi yang siap membawa borgol.
Ketika perusahaan mencemari sungai, negara diam. Ketika warga memblokir jalan karena tanahnya dirampas, negara langsung datang, bukan untuk berdialog, tapi untuk menangkap.
Hukum yang katanya “melindungi rakyat” kini berubah jadi pagar tinggi yang melindungi tambang dari rakyatnya sendiri.
Sebagaimana dilaporkan Project Multatuli, ekosistem di sekitar Maba Sangaji kini hancur. Sungai induk Sangaji dan anak-anaknya di Kaplo, Tutungan, Sabaino, hingga Semlowos dibongkar dan dikeruk mineralnya. Kebun warga tenggelam lumpur, air sungai tak lagi layak diminum, dan ikan, yang dulu jadi lauk harian, kini cuma cerita masa lalu. Mata air pun banyak yang hilang.
#Jejak Tambang dan Konglomerasi
PT Position bukan satu-satunya pelaku, tapi simbol betapa licinnya korporasi bisa beroperasi dengan restu negara. Perusahaan ini baru aktif setelah mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) pada Oktober 2024.
Awalnya dimiliki Aquila Nickel Pte. Ltd, lalu pada 2021 berpindah ke PT Tanito Harum Nickel (THN), anak usaha dari PT Harum Energy Tbk (HRUM), konglomerasi milik Kiki Barki, salah satu orang terkaya Indonesia versi Forbes 2023.
Struktur sahamnya seperti teka-teki silang yang jawabannya sudah diatur. THN menguasai 51%, sisanya 49% milik Nickel International Kapital (NICAP) di Singapura. Tapi mayoritas saham NICAP juga dikendalikan Harum Energy. Artinya, keluarga Barki menguasai PT Position dari dua arah sekaligus, Jakarta dan Singapura. Dengan begitu, mereka bukan cuma menguasai tanah, tapi juga arus keuntungan lewat negara dengan pajak rendah.

#Dari Hutan Adat ke Baterai Mobil Listrik
Di Halmahera, bisnis Harum Energy juga merambah ke smelter nikel di PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Nikel dari tanah Maba Sangaji diangkut ke sana untuk dilebur jadi bahan baku baterai mobil listrik, produk “hijau” yang katanya ramah lingkungan.
Iya, ironinya di situ, energi hijau global justru lahir dari tanah yang kini tenggelam lumpur dan airnya mati.
Tambang lain seperti PT Wana Kencana Mineral, PT Nusa Karya Arindo, dan PT Weda Bay Nickel juga ikut bermain di sekitar situ. Semua sama, saling tumpang tindih, saling mencemari, saling pura-pura peduli.
#Merdeka, Tapi untuk Siapa?
Pertanyaan paling sederhana tapi menohok, “Kalau membela tanah leluhur dianggap kriminal, apa makna merdeka?”
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 jelas menyebut negara mengakui dan menghormati hak masyarakat adat. Tapi tampaknya pasal itu cuma hidup di seminar dan baliho kementerian. Begitu warga adat menuntut pengakuan itu sungguh-sungguh, mereka langsung dianggap mengganggu investasi.
Kasus Maba Sangaji seharusnya membuat kita cemas. Sebab kalau tanah yang dijaga ratusan tahun bisa diambil semudah mencetak izin baru, apa jaminannya tanah kita aman?
Tambang, seperti keserakahan, jarang berhenti di satu tempat. Hari ini di Maluku Utara, besok bisa saja di halaman rumahmu.
Negara sering bilang, “Alam Indonesia luar biasa kaya.” Tapi kalau yang menikmati cuma segelintir orang, dan yang menjaga justru dipenjara, mungkin kalimat itu perlu direvisi,
“Alam Indonesia luar biasa kaya… tapi rakyatnya dibiarkan sengsara.”***