SURABAYA – Semua orang tahu, begitu motor atau mobil keluar dari dealer, nilainya langsung susut. Apalagi kalau sudah berumur lebih dari lima tahun atau pernah nyemplung got—harga pasarnya bisa anjlok drastis. Masalahnya, penurunan harga itu sama sekali nggak tercermin dalam perhitungan pajak kendaraan.
Sejumlah warga Kota Surabaya pun mengadu ke Komisi B DPRD Surabaya. Mereka resah lantaran beban Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dinilai kelewat tinggi, tidak sebanding dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) maupun harga pasar riil. Menurut mereka, aturan pajak saat ini terasa tidak adil karena tak mempertimbangkan kondisi tiap kendaraan secara individual.
“Seharusnya ada koreksi khusus, misalnya untuk kendaraan bekas yang nilainya sudah jauh menurun,” kata seorang warga saat menyampaikan aspirasinya dalam pertemuan dengan anggota dewan, Kamis (2/10/2025). “Kalau begini, bukannya depresiasi malah bikin depresi,” ujarnya.
#Opsen dan Pajak Progresif: Semakin Banyak, Semakin Menangis
Buat sebagian orang, punya kendaraan lebih dari satu itu bukan gaya-gayaan, tapi kebutuhan. Satu buat bapak kerja, satu buat ibu antar anak sekolah, satu lagi buat jaga-jaga kalau mogok. Tapi begitu ketemu pajak progresif, dompet langsung kayak di-tilang berkali-kali.
“Mobil saya sudah berusia lebih dari 10 tahun, harga jualnya di pasaran jelas turun, tapi pajaknya tidak berkurang signifikan. Bahkan rasanya pajaknya tidak pernah turun,” ucap warga yang lain.
Kebijakan ini niatnya menekan jumlah kendaraan pribadi. Tapi di lapangan, justru terasa lebih menekan dada warga kelas menengah. “Kendaraan kedua nilainya kecil, tapi pajaknya tetap lipat ganda,” celetuk yang lain sambil meraba dompet.
Di warung kopi, obrolannya malah lebih ekstrem. “Kalau terus begini, mending kendaraan dijual semua, terus kita naik becak bareng-bareng. Tapi ya becaknya juga kena pajak progresif, becak kedua sama ketiga lipat dua kali,” ujar seorang bapak sambil ketawa miris. Yang lain nyeletuk lebih ngawur lagi, “Wis, tak tukokno odong-odong wae. Minimal kalo mogok bisa sambil joget dangdut.”
#DPRD Ikut Bicara: Pajak Kok Nggak Pernah Turun?
Anggota Komisi B DPRD Surabaya, Budi Leksono, ikutan nimbrung soal keresahan warga ini. Ia menyoroti bahwa dasar pengenaan pajak masih pakai NJKB (Nilai Jual Kendaraan Bermotor) yang sering tidak update, jauh dari harga pasar riil.
Belum lagi tambahan biaya SWDKLLJ, STNK, sampai plat nomor—yang kalau dijumlahkan bisa bikin orang mikir, “Ini pajak kendaraan apa cicilan rumah, sih?”
“Pajak harus seimbang dengan kemampuan masyarakat dan nilai kendaraan. Kalau tidak, warga akan terus merasa diperas,” tegas Budi. DPRD yang berjanji bakal mendorong perbaikan regulasi.
“Nek pajak iso mudhun, tak traktir kabeh warung kopi ta iki sate klopo. Masalahé, sing iso mudhun saiki mung harga diri wong nunggak pajak, rek!,” celetuk warga. ***