GRESIK – Ada kalanya manusia yang sakit harus dibawa ke rumah sakit. Tapi kalau yang sakit adalah sungai terbesar di Jawa Timur—ya siapa yang bakal ngebesuk? Nah, itulah yang sedang dilakukan ECOTON, bukan ke rumah sakit, tapi besuk kali—karena Sungai Brantas kini sedang terbaring lemah, penuh racun, dan butuh perhatian lebih dari “keluarganya” yang bernama masyarakat Jawa Timur.
#Sungai yang Hidup, Tapi Hampir Mati
Kalau Sungai Brantas bisa ngomong, mungkin ia akan berkata, “Aku capek, Rek.” Bayangkan, air yang dulu jadi sumber kehidupan kini berubah jadi “air racun” penuh fosfat, nitrit, logam berat, dan mikroplastik. Para ilmuwan menyebut Brantas sebagai salah satu sungai paling tercemar di Indonesia, sejajar dengan Citarum, Ciliwung, dan Bengawan Solo. Sebuah prestasi yang tidak pantas dibanggakan, tentu saja.
Fenomenanya sudah akrab di telinga warga, ikan-ikan mati massal, air berubah warna, dan PDAM terpaksa kerja lembur buat memastikan air yang keluar dari keran rumah sampeyan masih bisa diminum tanpa rasa logam.
“Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur memang 5,23 persen, tapi kalau air Brantas terus tercemar, yang tumbuh nanti bukan kesejahteraan—melainkan kanker dan penyakit kulit,” sindir Alaika Rahmatullah, Koordinator Kampanye ECOTON.

#Besuk Kali Brantas: Dari Seremoni ke Aksi Nyata
Dalam rangka Hari Jadi ke-80 Provinsi Jawa Timur, ECOTON tidak datang dengan tumpeng atau wayang kulit. Mereka datang dengan dua perahu karet dan poster besar bertuliskan “Wayahe Besuk Kali Brantas”. Delapan aktivis mendayung di Sungai Brantas wilayah Gunungsari—bukan buat wisata, tapi buat ngingetin kita semua, sungai ini sudah terlalu lama jadi korban keserakahan industri dan kelalaian pemerintah.
“Pemulihan Brantas nggak cukup pakai seremoni,” tegas Alaika. “Harus ada penegakan hukum terhadap pencemar, penertiban bangunan liar, dan penghentian sampah plastik.”
Kata “besuk” di sini bukan cuma simbolis. Dalam budaya Jawa, mbesuk wong lara itu wujud kepedulian. Nah, ECOTON ingin masyarakat juga mbesuk kali—karena sungai bukan sekadar air yang lewat, tapi bagian dari tubuh kita sendiri.
#Industri yang Hidup dari Brantas, Tapi Bikin Brantas Sekarat
Ironisnya, Sungai Brantas adalah ibu yang memberi makan banyak anak—tapi justru sering dilupakan. Selama lebih dari 80 tahun, Brantas jadi sumber air irigasi di 16 kota/kabupaten, penyokong PDAM di enam kota besar, dan penopang ribuan industrI, dari pabrik kertas, gula, penyedap rasa, tekstil, sampai keramik. Semua hidup dari air Brantas. Tapi banyak di antara mereka justru membuang limbah langsung ke sungai tanpa diolah.
Bayangkan, sampeyan hidup dari susu ibu, tapi tiap hari nyampur racun ke dalamnya. Nah, kira-kira begitulah relasi industri dan Brantas selama ini.
“Banyak industri yang hidup dari Brantas justru meracuni sumber kehidupannya sendiri. Ini bentuk ketidakadilan ekologis,” ujar Alaika.
#Tiga Jalan untuk Menyembuhkan Brantas
Lewat kampanye #BesukKaliBrantas, ECOTON mengajak warga Jawa Timur buat berhenti jadi penonton. Karena kalau terus diam, jangan salahkan Brantas kalau suatu hari benar-benar mati. Mereka menyerukan tiga langkah sederhana tapi penting:
- Gotong royong menjaga air, tidak buang sampah ke sungai, dan memastikan industri benar-benar mengolah limbahnya sesuai baku mutu.
- Menata ulang bantaran sungai, biar ada ruang resapan air dan habitat alami bisa pulih.
- Mendorong pembentukan badan pengelola Sungai Brantas yang punya kuasa penuh menjaga kualitas air dan ekosistemnya secara berkelanjutan.
ECOTON percaya, Brantas bukan cuma soal lingkungan, tapi soal keadilan. Sungai ini sudah memberi hidup bagi manusia, sekarang waktunya manusia menghidupkan kembali Brantas.
Kalau selama ini sampeyan sibuk healing ke gunung atau pantai, mungkin sudah saatnya healing bareng kali. Soalnya, kalau Brantas sehat, kita juga ikut sehat.***