DI RUANG pertemuan Aone Trawas, Sabtu (18/10/2025), udara sejuk Trawas mendadak terasa seperti ruang rapat DPR, semua bicara soal “lingkungan”, tapi yang terdengar hanya gema dari kepentingannya masing-masing.
Pertemuan itu mempertemukan banyak nama besar, mulai dari Abdul Hakim Bafagih, anggota Komisi VI DPR RI yang datang “karena ini dapil saya”, Administratur Kawasan Pemangku Hutan (KPH) Perhutani Pasuruan Ivan Cahyo Susanto, hingga para pegiat lingkungan, pengurus TPS3R, Aliansi Air, dan tentu manajemen Aone Trawas yang belakangan jadi bahan aduan warga.
Isunya sederhana tapi klasik, wisata alam yang tumbuh di atas tanah konservasi.
Sejuknya udara Trawas ternyata menutupi panasnya konflik kepentingan antara ekonomi wisata dan ekologi yang mulai sesak napas.
#Dari Mata Air ke Mata DPR
Aone Trawas berdiri di atas lahan Perhutani, di kawasan atas Reco Lanang, daerah yang seharusnya berfungsi sebagai catchment area alias daerah tangkapan air. Warga dan pegiat lingkungan mengeluh, debit air di bawah semakin menurun. “Kondisi air di bawah jadi berkurang,” kata Sisyantoko dari komunitas WeHasta, sebagaimana dikutip Disway Mojokerto. Ia menyebut perlunya sumur resapan dan biopori agar air tak langsung turun seperti dana proyek di akhir tahun, deras tapi cepat hilang.
Kepala Desa Trawas, Wulyono, bahkan menyebut ada tujuh mata air yang harus dijaga. “Jangan sampai keberadaan Aone Trawas berpengaruh negatif terhadap mata air,” katanya, seperti orang tua yang mengingatkan anaknya untuk tidak main di sungai sore-sore.
Sementara Andung A. Kurniawan dari Aliansi Air Maja Pawitra, mengutip Perbup No. 13/2015 tentang sumur resapan. Ia menjelaskan, “Setiap bangunan 36 meter persegi wajib punya sumur resapan 1 meter kubik.” Bahasa halusnya, “Kalau mau membangun surga wisata, jangan biarkan bawahnya jadi neraka air.”
#Perhutani dan Klausul “Tak Boleh Menebang”
Dari pihak Perhutani, Ivan Cahyo Susanto menjelaskan bahwa kerja sama dengan Aone Trawas punya klausul yang “tidak boleh ada penebangan pohon” dan ada evaluasi tiap dua tahun. Kedengarannya menenangkan, sampai kita ingat bahwa banyak hal di negeri ini terdengar bagus di kertas, tapi tidak di tanah.
Perhutani, sebagai BUMN penjaga hutan, kini harus menyeimbangkan dua hal yang saling tarik menarik, menjaga pohon dan menjaga mitra usaha yang bisa menambah pendapatan. Dua-duanya penting, tentu. Tapi, seperti biasa, yang paling sering kalah adalah akar dan airnya.
#Politik Representatif, tapi Siapa yang Diwakili?
Abdul Hakim Bafagih datang dengan niat mulia, “tidak mencari kesalahan, hanya mencari solusi.” Tapi dalam politik representatif, solusi sering kali hanya sinonim dari kesepakatan yang bisa difoto bareng.
Hakim menyebut urusan lingkungan bukan bidangnya, tapi karena “ini dapil saya,” maka ia merasa perlu turun tangan. Satu kalimat yang jujur tapi juga menunjukkan persoalan klasik politik kita, wakil rakyat bisa datang ke hutan tanpa tahu isi hutannya, asal ada potensi suara yang tumbuh di bawahnya.
Pada akhirnya, semua pihak bersepakat untuk menjaga lingkungan. Aone Trawas berkomitmen untuk membuat sumur resapan dan menjaga kelestarian. Warga diberi ruang bicara. DPR berjanji menjembatani. Semuanya terdengar damai, seperti simfoni yang berakhir di nada mayor.
Tapi publik tahu, rapat-rapat seperti ini sering hanya meninggalkan jejak ban mobil di tanah basah dan foto bareng menyebar di dunia maya.
#Antara Lestari dan Lestari Saja
“Lingkungan akan kami jaga,” kata Johan, pimpinan Aone Trawas, menutup pertemuan itu. Kalimat yang bagus. Tapi di negeri yang setiap tahunnya kehilangan hutan lebih cepat daripada naiknya tarif listrik, kata “lestari” sering cuma jadi nama usaha wisata alam baru.
Jadi, kalau nanti air di bawah tetap berkurang, jangan kaget. Mungkin yang terserap bukan airnya, tapi perhatian publiknya.***