Lewati ke konten

Youth IMPACT 2025: Anak Muda Lawan Mikroplastik, Ketika Negara Masih Cekikikan dengan Korporasi Plastik

| 3 menit baca |Ekologis | 54 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Rilis, Amiruddin Muttaqin Editor: Supriyadi

KALAU biasanya kita cuma menonton dokumenter tentang paus yang tersedak sampah plastik sambil mengernyit, kali ini pahlawan lingkungan hadir langsung di Malang Creative Center (MCC) pada Sabtu, 18 Oktober 2025. Mereka bukan aktor Hollywood, tapi anak-anak muda yang siap memutar otak untuk memerangi mikroplastik.

Itulah finale Youth IMPACT 2025, ajang di mana anak muda dari seluruh Indonesia bertarung dengan ide dan inovasi mereka untuk mengurangi plastik dan mendukung Sustainable Development Goals (SDGs). Lebih dari 400 karya ditimbang, disaring, dan akhirnya terpilih 9 finalis yang dianggap paling siap “mengubah dunia”.

Acara dibuka oleh Ir. Sugik Edy Sartono, VP Perencanaan Perum Jasa Tirta I. Beliau bilang, menjaga Sungai Brantas itu bukan cuma urusan pemerintah, tapi juga urusan semua orang, terutama generasi muda. “Keterlibatan generasi muda melalui inovasi seperti ini sangat relevan untuk mengurangi pencemaran mikroplastik,” ujarnya.

#Citizen Science: Jadi Peneliti, Jadi Bagian Solusi

Rafika Aprilianti dari ECOTON kemudian naik ke panggung, membahas bahaya mikroplastik bagi tubuh manusia. Tapi dia nggak berhenti di situ. Rafika menekankan pentingnya citizen science — ketika masyarakat ikut meneliti, mereka nggak cuma ngerti bahayanya, tapi juga jadi bagian dari solusi.

Tak heran, kemudian muncul deklarasi komunitas JEJAK (Jaringan Pemuda Jatim Tolak Plastik Sekali Pakai). Alex dari ECOTON menyerukan agar anak muda bergerak bersama, mengurangi plastik sekali pakai, dan memperkuat gerakan zero waste.

#Saringan Jerami, Kantong Teh Pisang, dan AI

Di pameran, sembilan finalis SMA dan mahasiswa menunjukkan bahwa kreativitas mereka bisa bikin orang kagum. Ada SALIA dari SMAN 1 Patianrowo, Nganjuk, saringan limbah cair dari jerami, eceng gondok, dan serabut kelapa yang bisa menahan 99% mikroplastik. Ada juga BASTEFIA BAG dari SMAN 1 Bulukumba, yaitu kantong teh bebas mikroplastik dari serat pelepah pisang yang terurai hanya dalam tujuh hari.

Mahasiswa pun nggak kalah keren. Unair Surabaya membuat EcoThin Bioplastik, kemasan biodegradable dari pati singkong dan limbah pisang. ITB Bandung menghadirkan Ocean WaveTrap, alat ultrasonik plus IoT untuk memisahkan mikroplastik dari air.

Juga ITS Surabaya bikin Filter Mikroplastik Vortex-Screw Surya yang menyaring 82% mikroplastik pakai energi surya. UI Depok punya ChitoZen Filter, yaitu kombinasi biochar tempurung kelapa, ZnO, dan kitosan yang bisa menurunkan kadar mikroplastik 64,9% hanya dalam lima menit.

#Siapa Juara, Siapa Harapan?

Setelah tegang-tegang-manis, tibalah saat yang paling ditunggu, pengumuman pemenang.
SMAN 1 Bulukumba, Sulawesi Selatan, keluar sebagai juara 1 kategori SMA, disusul SMAN 1 Sidayu, Gresik, dan SMAN 1 Patianrowo, Nganjuk.

Sementara di kategori mahasiswa, Universitas Airlangga Surabaya menyabet juara 1, ITB Bandung di posisi kedua, ITS Surabaya ketiga, dan Universitas Indonesia Depok kebagian predikat Harapan 1.

Dr. Daru Setyorini, Direktur Eksekutif ECOTON, menegaskan bahwa Youth IMPACT bukan cuma lomba, tapi gerakan perubahan. “Ruang ini bagi generasi muda untuk berinovasi demi lingkungan yang lebih sehat. Ini sejalan dengan semangat ECOTON dan SDGs,” ujarnya.

Para juri juga tampak bahagia, mungkin karena akhirnya menemukan bukti bahwa riset tak harus berjaket putih di laboratorium mahal. Dr. Sunarti dari BRIN menilai karya peserta matang dan relevan. “Anak SMA dan mahasiswa pun mampu berkontribusi nyata dalam mendukung SDGs.”

Dr. Ihsanuddin dari Universitas Jember menambahkan, “Inovasi yang lahir hari ini bisa jadi fondasi riset masa depan, asal didukung terus-menerus.”

Youth IMPACT 2025 membuktikan satu hal penting, riset dan aksi nyata bukan monopoli institusi besar. Anak muda Indonesia, dengan ide-ide yang kadang “gila tapi masuk akal”, sedang menulis bab baru dalam perjuangan lingkungan.

Dan kalau kamu bertanya, “Apakah semua ini bisa benar-benar jadi nyata?” Jawabannya, tentu bisa. Asal negara berhenti cekikikan di sebelah korporasi yang masih sibuk membangun industri plastik, lalu menamainya revolusi hijau. Padahal, yang hijau cuma daunnya, bukan niatnya.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *