JOMBANG – Pasar Barongan Kali Gunting, Desa Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung, berubah menjadi ruang budaya yang lebih ramai daripada timeline media sosial, Sabtu (4/10/2025). Di bawah rimbun bambu yang bergoyang diterpa angin, aroma kopi Jombang, sambal kacang pedas, dan gorengan hangat bercampur dengan deretan batik ecoprint, jumputan, hingga motif Mojotrisno-Mojoagung.
Di tengah keramaian itu, satu sosok menarik perhatian, Yuliati Nugrahani, Ketua Tim Penggerak PKK sekaligus Ketua Dekranasda Jombang. Ia tidak sekadar hadir memberi sambutan, tapi benar-benar turun tangan, membatik bersama istri Wakil Bupati, Ning Ema Erfina Salmanudin. Setiap goresan canting seolah mengatakan: “Budaya ini penting, dan saya ikut menjaga denyutnya.”
Peresmian “Wastra Alami Jombang” oleh Bupati H. Warsubi dan Wakil Bupati Salmanudin, sekaligus menandai dimulainya Jombang Fest 2025. Festival ini menjadi momen istimewa Hari Jadi ke-115 Kabupaten Jombang, sekaligus panggung untuk menampilkan wastra alami, warisan leluhur yang kini didorong menjadi kekuatan ekonomi kreatif lokal.
#Yuliati: Dari Podium ke Canting
Di acara lain, pemimpin daerah sering terlihat lebih nyaman di podium—bicara, memberi arahan, lalu pulang. Tapi tidak untuk Yuliati. Ia turun langsung ke pasar, ikut membatik, menyapa pengrajin, dan sesekali menengok anak-anak yang penasaran dengan proses pewarnaan alami. Sikapnya humanis, tapi tetap tegas, budaya bukan sekadar pajangan, tapi harus dirasakan, dipelajari, dan dibawa ke pasar.
“Pewarna alami ini bagian dari identitas Jombang. Kita ingin generasi muda tidak hanya tahu motifnya, tapi juga paham sejarah dan prosesnya,” kata Yuliati sambil meneteskan lilin canting di kain putih.
#Warna Alami, Semangat Nyata
Bupati Warsubi menekankan arti penting wastra alami, kain yang dibuat dari bahan dan pewarna alami dari tumbuhan, ramah lingkungan, sekaligus kaya sejarah. Ia bahkan mengingatkan akar pewarna alami di Jombang sejak masa Majapahit, ketika Dukuh Patoeman (Sambong) menjadi pusat produksi Indigofera tinctoria yang diekspor hingga luar negeri.
Tapi kalau bicara implementasi, Yuliati-lah yang terlihat paling aktif. Ia tak hanya bicara soal pelestarian, tapi juga memikirkan bagaimana wastra alami ini bisa menghidupi pengrajin, mendorong UMKM lokal, dan bahkan menjadi daya tarik nasional. Dari pasar, stan batik, hingga demo mesin tenun, semua ia telusuri, sesekali memegang kepingan bambu untuk melakukan transaksi.
#Kentongan, Kopi, dan Kepingan Bambu
Menandai pembukaan Jombang Fest 2025, sepuluh kentongan dipukul serempak. Dentuman kayu itu menggema di balik bambu, memberi kode: “Pesta rakyat dimulai!” Sambil itu, Yuliati terus berjalan, sesekali menepuk bahu pengrajin muda, memberi pujian, atau sekadar tersenyum pada anak-anak yang memegang canting.
Pasar Barongan sendiri unik. Semua transaksi dilakukan dengan kepingan bambu, hasil penukaran uang tunai—sebuah inovasi yang menjaga nuansa tradisional. Di sini, pengunjung bisa membeli es dawet, sate khas angkringan, atau secangkir kopi Jombang sambil menikmati tari Gambyong atau demo tenun motif bintang.
#Pesta Budaya yang Humanis
Kepala Desa Mojotrisno, Nanang Sugiarto, bangga desanya menjadi lokasi pembukaan Jombang Fest. “Pasar Barongan sejak 2022 dikembangkan sebagai wisata tematik. Kini menjadi saksi sejarah festival besar Kabupaten Jombang,” ujarnya.
Di tengah modernisasi yang sering membuat budaya lokal tersisih, kehadiran Yuliati Nugrahani menjadi pengingat: pelestarian budaya tidak hanya soal pamer, tapi soal interaksi. Budaya hidup ketika disentuh tangan, ketika dilihat mata, ketika dicicip lidah—dan terutama, ketika ada pemimpin yang benar-benar ikut merasakannya.
Dan di antara batik, kopi, kentongan, dan kepingan bambu, Yuliati Nugrahani berdiri sebagai symbol, pemimpin yang bisa bicara, sekaligus ikut menenun sejarahnya sendiri.***