Lewati ke konten

#SaveSagea #TolakTambang, Dari Air yang Jernih ke Suara Serak Warga Halmahera Tengah: Karst dan Kehidupan yang Hendak Ditambang

| 2 menit baca |Ekologis | 8 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Rilis Editor: Supriyadi

DESA SAGEA di Halmahera Tengah dikenal bukan karena tambangnya, tapi karena airnya.
Air yang jernih, mengalir dari karst luas yang menumbuhkan kehidupan. Dari Pegunungan Legayelol sampai ke Telaga Yonelo, setiap tetesnya punya cerita, tentang leluhur, tentang doa, dan tentang keberlanjutan.

Tapi kini, suara air itu mulai kalah oleh deru alat berat. PT Mining Abadi Indonesia (MAI) datang membawa janji investasi, tapi yang terdengar justru suara penolakan.

“Karst Sagea adalah benteng kami. Tempat air kami berasal. Kami tidak akan tinggal diam jika tempat ini dihancurkan,” tegas Mardani Legayelol, Juru Bicara Save Sagea dikutip Betahita, Rabu, 22 Oktober 2025.

#Antara Tambang dan Tanah Leluhur

Kata Mardani, operasi PT MAI bukan sekadar urusan ekonomi, tapi soal “siapa berhak hidup di tanah ini.”

Warga menuding perusahaan itu mengabaikan hak-hak masyarakat adat atas tanah leluhur. Lebih parah lagi, ada dugaan mereka sudah menggali sebelum ada izin dan persetujuan warga.

Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara, PT MAI adalah kontraktor dari PT Zhong Hai Rare Metal Mining Indonesia dan PT First Pacific Mining.  Dua perusahaan besar yang disebut-sebut beroperasi “diam-diam” di tanah orang.

Klimaksnya terjadi 12 Oktober lalu. Dua mobil warga dirusak. Blokade jalan pun terjadi. Warga turun ke lapangan, bukan untuk cari gara-gara, tapi cari keadilan.

#Pejabat Datang, Tapi yang Dibahas Cuma Mobil

Bupati Halmahera Tengah Ikram Malan Sangadji datang ke Sagea sehari setelah kejadian. Bersama wakil dan sekda, mereka duduk dengan warga. Tapi, kata Mardani, pertemuan itu seperti minum teh tanpa gula, hambar.

“Yang dibahas cuma dua hal, ganti rugi mobil yang rusak dan kompensasi lahan yang diserobot,” ujarnya.

Padahal, warga sudah bicara tentang masa depan, bukan sekadar mobil dan meteran tanah.
“Perjuangan kami ini soal ruang hidup, soal lingkungan hidup, dan soal masa depan generasi kami,” lanjut Mardani.

#Karst Sagea: Konservasi di Atas Kertas

Ironinya, menurut aturan negara sendiri, Sagea seharusnya tidak boleh ditambang.
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025–2029 menegaskan bahwa Karst Bokimoruru masuk kawasan prioritas konservasi. Bahkan, Perda Tata Ruang Halmahera Tengah menetapkan Sagea sebagai Zona Karst Kelas I. Artinya, hanya boleh untuk konservasi dan penelitian, bukan pertambangan.

Tapi, seperti banyak cerita di negeri ini, hukum kadang cuma jadi catatan kaki di dokumen resmi. Pemerintah seolah-olah berwatak baik, namun kenyataannya sebaliknya.

“Ini soal kehidupan, lingkungan, dan identitas budaya. Kami tidak akan tinggal diam,” kata Mardani. “Sagea-Kiya adalah kehidupan kami. Karst dan Telaga adalah warisan kami. Kami akan jaga, kami akan lawan. Kami tidak butuh tambang.”***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *