Lewati ke konten

KTR Bojonegoro Memicu Konflik Antara Hak Udara Bersih dan Mata Pencaharian Ribuan Pekerja Industri Rokok

| 3 menit baca |Sorotan | 5 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Hamim Anwar Editor: Supriyadi
Terverifikasi Bukti

DI BOJONEGORO, Jawa Timur, wacana soal Kawasan Tanpa Rokok (KTR) bukan sekadar soal asap yang mengganggu paru-paru orang lain. Ini tentang siapa yang duduk di meja perundingan, siapa yang tahu draf raperda, dan siapa yang terseret di arus ekonomi tembakau. Produsen rokok merasa seperti tamu yang belum diundang ke pesta, sementara akademisi kesehatan bersorak, “Akhirnya ada langkah nyata untuk udara bersih!”

Tapi jangan salah, Bojonegoro bukan hanya kota dengan alun-alun, terminal, dan kantor pemerintah yang bebas asap. Kota ini juga gudang tembakau terbesar di Jawa Timur, tempat ribuan pekerja—mayoritas perempuan—bergantung pada batang dan kretek. Seolah-olah udara bersih dan ekonomi lokal sedang adu argumen, dan Raperda KTR menjadi arena pertarungan yang tak terlihat.

#Hak Udara Bersih, Bukan Hak Merokok

Direktur Koperasi Kareb, Sriyadi Purnomo, merasa seperti sosok yang tersingkir di drama politik lokal. Produsen rokok belum mengetahui isi draf raperda, tapi sudah diminta memberi pandangan. “Harusnya diajak bicara,” ujarnya kepada Radar Bojonegoro, Ahad, 26 Oktober 2025, seolah menegur pemerintah yang lupa bahwa rokok bukan cuma barang konsumsi, tapi juga urat nadi ekonomi lokal.

Di sisi lain, Sudalhar dari Stikes Muhammadiyah Bojonegoro menekankan bahwa KTR adalah hak dasar warga untuk bernapas tanpa terganggu asap. Kesehatan, katanya, tidak bisa ditawar. Tempat publik seperti sekolah, terminal, dan fasilitas kesehatan seharusnya menjadi zona bebas rokok. Dengan begitu, intensitas merokok bisa turun, konsumsi rokok menurun, dan udara… yah, sedikit lebih bersih dari biasanya.

#Tembakau dan Garis Kemiskinan

Tembakau di Bojonegoro bukan cuma soal asap. Berdasarkan Profil Kemiskinan Jawa Timur Maret 2025, rokok filter/kretek menyumbang sekitar 9 persen di perkotaan dan 8,7 persen di pedesaan terhadap garis kemiskinan. Artinya, setiap batang rokok yang dibakar juga berarti ada urusan ekonomi yang ikut terbakar. Membatasi rokok berarti menyehatkan paru-paru, tapi juga berpotensi mengguncang kantong masyarakat.

Pendapatan negara dari cukai rokok pada tahun 2023 mencapai Rp 210,29 triliun, dengan Bojonegoro menyumbang Rp 84 miliar dari total cukai tersebut. Produksi tembakau Bojonegoro sendiri mencapai 11.250 ton per tahun, dikelola oleh 19 pabrik rokok yang mempekerjakan sekitar 12.500 pekerja, mayoritas perempuan.

Fraksi PDI Perjuangan menegaskan bahwa KTR harus dijalankan tanpa mengguncang tatanan sosial dan ekonomi. Mengingat Bojonegoro menjadi salah satu kontributor cukai rokok nasional dan menampung ribuan pekerja pabrik tembakau, aturan ini tidak boleh hanya sehat di kertas. Harus cerdas: menyeimbangkan hak warga untuk udara bersih dengan kesejahteraan mereka yang hidup dari tembakau.

“Raperda ini harus menjadi instrumen untuk mendorong perubahan perilaku perokok ke arah yang lebih sehat, bukan sekedar pembatasan. Pemerintah juga perlu melibatkan industri rokok, tenaga kerja, dan masyarakat dalam perumusan kebijakan agar tidak ada pihak yang dirugikan,” tegas Juru Bicara Fraksi Natasya Devianti.

 

#Desakan Tinjau Ulang dan Ancaman Aksi

Koperasi Kareb, yang menaungi lebih dari 7.000 karyawan di sektor pengolahan rokok, menegaskan bahwa Perda KTR secara langsung akan mematikan mata pencaharian para buruh.

Sekretaris Koperasi, Widarko, mengatakan, “Kebijakan itu jelas akan mematikan mata pencaharian para pekerja di bidang industri rokok. Perda KTR dikhawatirkan menurunkan konsumsi rokok, dan ujung-ujungnya PHK besar-besaran tidak bisa dihindarkan,” ujar Widarko, Rabu (5/11/25).

Mewakili ribuan pekerja, Koperasi Kareb mendesak Pemkab dan DPRD Bojonegoro untuk meninjau ulang rencana pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) KTR. Widarko menegaskan, jika pemerintah dapat menjamin lapangan kerja bagi karyawan, Perda bisa disahkan. Namun jika tidak, pihaknya meminta agar rencana itu dihentikan demi menghindari kerugian sosial dan ekonomi.

“Kalau Pemkab bisa menjamin lapangan kerja bagi ribuan karyawan kami, silakan sahkan Perda itu. Tapi kalau tidak, tolong hentikan. Jangan korbankan rakyat kecil hanya demi citra atau kepentingan tertentu,” tegas Widarko.

Koperasi Kareb juga menyatakan kesiapan mereka untuk melakukan aksi besar-besaran jika pemerintah tetap memaksakan pengesahan Perda KTR tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *