Lewati ke konten

Menuju Aksi Nasional Kasbi: Buruh Melawan dari Pabrik Sampai Parlemen

| 4 menit baca |Sorotan | 3 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Fio Atmadja Editor: Marga Bagus
Terverifikasi Bukti

KALAU tanggal 6 November 2025 kamu melihat ribuan buruh berkaos merah memenuhi Senayan sambil membentangkan spanduk. Itu bukan festival musik bawah tanah. Itu Aksi Nasional Konfederasi KASBI. Serius, bukan demo biasa.

Di tengah mahalnya harga sembako, listrik, dan ongkos hidup, buruh turun ke jalan bukan buat gaya-gayaan, tapi buat menuntut hal paling dasar, hidup layak.

Di bawah terik matahari dan diapit pagar kawat DPR, mereka menyerukan hal yang sebenarnya sederhana, negara jangan pura-pura tuli. Sebab di balik jargon “ekonomi tumbuh”, masih banyak buruh yang gajinya kalah sama cicilan kos.

Aksi ini jadi panggung untuk meneriakkan sepuluh tuntutan, dari reformasi undang-undang ketenagakerjaan sampai dukungan untuk kemerdekaan Palestina. Karena ternyata, buat buruh, perjuangan lokal dan solidaritas global itu nyambung erat, sama-sama soal keadilan.

#Dari Pabrik ke Parlemen: Buruh Menuntut Keadilan

Sudah puluhan tahun buruh jadi motor penggerak ekonomi negeri ini. Dari pabrik tekstil di Gresik, Jawa Timur. Tambang di Kalimantan, sampai operator ojol di kota-kota besar, mereka semua memutar roda kapitalisme nasional yang katanya demi kemajuan bangsa.

Tapi ironinya, kesejahteraan buruh justru berhenti di lampu merah. Upah murah terus dijual sebagai “daya tarik investasi”, seolah penderitaan manusia bisa dikonversi menjadi pertumbuhan ekonomi.

Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Unang Sunarno, menilai kondisi ini bukan sekadar angka dalam tabel ekonomi, tapi realitas pahit yang dialami buruh setiap hari.

“Mayoritas buruh sekarang generasi sandwich,” ujarnya di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (6/11/2025). “Mereka bukan hanya menanggung hidupnya sendiri, tapi juga orang tua, anak, bahkan lingkungan sekitar.” Beban ekonomi ini membuat setiap kenaikan harga beras atau listrik terasa seperti tamparan langsung ke dapur.

Di tengah situasi itu, UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 jadi bab paling menyakitkan dalam naskah panjang penderitaan buruh. Atas nama fleksibilitas pasar kerja, pemerintah memberi karpet merah untuk sistem kontrak tanpa batas waktu, outsourcing, hingga kemitraan palsu bagi pekerja platform digital.

Para buruh ojol dan kurir kini dianggap “pengusaha mini”, padahal mereka tetap bekerja di bawah kendali algoritma yang lebih kejam dari mandor pabrik. Sebuah ironi modern: kerja keras, tapi tetap tanpa kepastian.

#Putusan MK dan Janji yang Belum Ditepati

Harapan sempat muncul lewat Putusan MK No. 168 Tahun 2024 yang menyebut beberapa pasal UU Cipta Kerja inkonstitusional. MK bahkan memerintahkan agar RUU Ketenagakerjaan yang baru segera dibahas. Tapi sampai akhir 2025, pemerintah masih adem-ayem, seperti lupa kalau ini perintah konstitusi.

Bagi KASBI, pasifnya pemerintah bukan cuma soal kelambanan birokrasi. Ini soal nasib jutaan buruh yang hidup dalam ketidakpastian. “Kita kerja tiap hari, tapi status kita nggak jelas. Kayak hubungan tanpa kepastian,” kata seorang buruh pabrik di Bekasi sambil tertawa getir. Maka dari itu, Aksi Nasional kali ini bukan sekadar orasi, tapi juga pengingat: undang-undang pro buruh bukan hadiah, tapi hasil perjuangan.

Buruh dari Konfederasi KASBI berunjuk rasa di depan DPR RI menuntut keadilan dan upah layak. Dari pabrik hingga parlemen, suara buruh terus menggema menentang eksploitasi dan kebijakan yang menindas. | Foto: Fio

#Demokrasi yang Menyusut, Represi yang Membengkak

Buruh bukan cuma melawan upah murah, tapi juga represi negara. Menurut data Varieties of Democracy, sejak era SBY sampai Jokowi, ruang demokrasi di Indonesia terus menyusut. Memasuki pemerintahan Prabowo, situasinya tambah tegang. Aksi rakyat Agustus–September 2025 disambut dengan kekerasan brutal; seorang pengemudi ojol, Affan Kurniawan, tewas terlindas mobil Barakuda Brimob.

Tak berhenti di situ, ribuan massa ditangkap, puluhan disiksa, dan ratusan anak di bawah umur ditetapkan jadi tersangka. “Negara ini kayaknya lebih takut sama spanduk buruh daripada korupsi pejabat,” sindir Unang. Maka tak heran kalau salah satu tuntutan utama aksi 6 November ini adalah menghentikan kriminalisasi aktivis dan membebaskan semua peserta aksi yang ditahan.

#Solidaritas Tanpa Batas: Dari Jakarta ke Gaza

Yang menarik, perjuangan KASBI tak berhenti di dalam negeri. Dalam daftar sepuluh tuntutan mereka, ada satu poin yang melintasi batas negara: Stop perang, blokade ekonomi, dan genosida—dukung kemerdekaan Palestina. Buat sebagian orang mungkin terdengar “terlalu jauh”, tapi bagi buruh, solidaritas itu tak kenal jarak.

Bagi mereka, imperialisme global dan eksploitasi buruh punya akar yang sama: keserakahan sistem yang menindas manusia demi keuntungan segelintir orang. Dari embargo ekonomi AS terhadap Kuba dan Venezuela sampai agresi Israel di Palestina, semua itu adalah wajah lain dari penindasan yang sama—yang di Indonesia hadir lewat upah murah dan PHK massal.

Pada akhirnya, aksi nasional KASBI bukan cuma demonstrasi, tapi juga refleksi: kalau buruh berhenti kerja sehari, ekonomi bisa lumpuh. Tapi kalau pemerintah berhenti peduli pada buruh, negara ini kehilangan nuraninya. Di tengah dunia yang makin dingin oleh krisis dan perang, suara buruh jadi pengingat sederhana: keadilan sosial itu bukan slogan, tapi perjuangan.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *