Lewati ke konten

Ambisi Kosong Indonesia di Piala Dunia 2026: Antara Naturalisasi, Politik, dan Ilusi Nasionalisme

| 4 menit baca |Opini | 8 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Ruben Cornelius Siagian Editor: Supriyadi

Kalau sepak bola Indonesia bisa bicara, mungkin dia sudah bilang: “Capek aku, Bos.”
Sebab setiap empat tahun sekali, negeri ini sibuk bermimpi ke Piala Dunia, tapi yang disiapin malah branding, bukan building.

Padahal, kalau mau jujur, ambisi tampil di Piala Dunia 2026 ini lebih mirip “impian anak kos yang pengin ke Jepang tapi paspor aja belum bikin.”

#Naturalisasi: Jalan Pintas yang Bikin Kita Nyasar

Negara lain sibuk membina pemain sejak umur 10 tahun, kita sibuk cari pemain asing yang udah setengah matang. Begitu ada yang bisa ngomong “selamat pagi” dengan aksen Jakarta, langsung: “Welcome to Timnas, brother!”

Strategi ini katanya solusi, padahal cuma tameng dari pembinaan yang gagal total. Naturalisasi memang bisa bantu menambal lubang, tapi kalau lapanganmu bolong semua, ya percuma juga.

Pemain lokal macam Witan, Marselino, atau Ryuji? Masih sering disuruh nunggu giliran kayak anak magang yang disuruh beli kopi. Mau nambah jam terbang aja susah, karena liga kita sering mogok, jadwal amburadul, dan wasitnya kadang kayak ikut taruhan.

#Taktik Timnas: Improvisasi Tanpa Inspirasi

Formasi timnas sekarang itu kayak playlist Spotify, berubah tergantung suasana hati.
Hari ini 4-3-3, besok 4-2-3-1, lusa bisa aja 3-5-2—tergantung siapa lawannya dan seberapa panik pelatihnya.

Transisi lambat, pressing malas, dan umpan silang yang lebih sering nyasar ke papan iklan ketimbang kepala striker. Filosofi permainan? Gak ada. Yang ada cuma “main aja dulu, hasil belakangan.”

Negara seperti Jepang atau Korea punya sistem permainan yang sudah ditanam sejak usia dini. Indonesia? Filosofinya: “Yang penting semangat nasionalisme.” Sayangnya, semangat doang gak bisa bikin gol.

#Liga Domestik: Tempat Bakat Muda Tersesat

Liga 1 masih seperti sinetron, banyak drama, sedikit progres. Klubnya banyak, tapi yang benar-benar punya akademi pemain muda? Bisa dihitung jari—itu pun kadang dipakai buat konten Instagram.

Kalau Jerman punya DFB Academy dan Spanyol punya La Masia, Indonesia punya “seleksi open trial” yang kadang lebih mirip audisi dangdut. Jadwal liga suka molor, stadion gak memenuhi standar, dan wasitnya… ah, jangan bahas wasit, nanti darah tinggi.

Bagaimana mau lahir pemain kelas dunia kalau tiap musim yang konsisten cuma debat netizen di X (Twitter)?

#PSSI dan Kemenpora: Satu Kursi Dua Kepentingan

Nah, bagian ini paling lucu tapi paling sedih. Ketua PSSI juga jadi Menteri Olahraga. Gak salah sih, cuma… aneh aja.

Ibarat dosen jadi penguji skripsi sekaligus mahasiswa yang diuji. Kalau salah, siapa yang mau negur?

Setiap keputusan besar di sepak bola Indonesia sekarang kayak punya dua aroma,  Satu aroma politik, satu aroma pencitraan.

Rotasi pelatih? Ganti strategi? Semua kayak disetir supaya “bagus di media.” Padahal sepak bola bukan sinetron yang butuh rating—yang kita butuh itu result, bukan retorika.

#Ambisi vs Realita: Nasionalisme Tidak Bisa Menang Sendiri

Kita boleh bangga dengan semangat “Garuda di Dadaku”, tapi sayangnya FIFA gak nilai semangat.
Mereka nilai kualitas.

Kita bisa nyanyi “Indonesia Pasti Bisa” sekuat tenaga, tapi kalau passing-nya masih kayak operan anak SD, ya tetap kalah juga.
Timnas bisa punya pemain dengan paspor lima negara, tapi tanpa sistem pembinaan, ya hasilnya tetap gitu-gitu aja.

#Apa yang Sebenarnya Harus Diperbaiki?

Bukan cuma strategi, tapi sistemnya dari akar sampai pucuk. Dari pelatih usia dini sampai pejabat yang doyan konferensi pers.

Teori Human Capital bilang: investasi jangka panjang pada pengembangan manusia akan berbuah prestasi. Teori Long-Term Athlete Development bilang: pembinaan harus konsisten dan filosofis. Tapi Indonesia kayaknya lebih percaya teori “asal rame di media, pasti sukses.”

Kalau mau meniru yang sukses, tengok Jepang dan Korea. Mereka gak banyak omong, tapi kerja dari bawah. Liga profesional mereka kuat, pemainnya disiplin, dan pemerintahnya gak nimbrung tiap mau ganti pelatih.

#Akhir Kata: Piala Dunia Itu Bukan Konten YouTube

Sepak bola Indonesia sekarang kayak mobil tua yang dicat ulang biar keliatan kinclong.
Padahal mesinnya udah karatan, oli bocor, dan ban kempes.

Kita gak butuh janji politik atau konferensi pers bombastis. Yang kita butuh cuma satu: kerja serius, bukan kerja sensasional.

Karena kalau terus begini, Piala Dunia 2026 cuma akan jadi fatamorgana politik—indah dilihat, tapi tak pernah bisa disentuh.***

 

*) Artikel mengalami perubahan pada bentuk penulisan, pelafalan atau penyebutan dari yang dikirim penulis, tetapi makna dasarnya tidak mengalami perubahan, disesuaikan platform TitikTerang.

**) Ruben Cornelius Siagian, aktif menulis opini di media nasional dan lokal. Jejaknya berserak di Google ScholarScopus, sampai ResearchGate—bukti kalau dia lebih suka debat pakai data daripada drama.

 

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *