Surabaya – Di jalanan internet, semua orang punya kamera, semua kamera punya “editor”, dan semua editor kini punya AI yang bisa bikin bibir siapa pun berkata-kata. Publik figur bisa berpidato dalam bahasa yang tak pernah ia pelajari, eksekutif bisa “menggelar” rapat Zoom yang tak pernah ada, dan suara orang tua bisa memohon transfer dana dalam hitungan menit, lengkap dengan napas terengah yang meyakinkan. Rasanya seperti nonton sinetron, hanya saja episode kali ini dimainkan di rekening kita sendiri.
Masalahnya, manusia diciptakan untuk mempercayai wajah dan suara. Sistem biologis kita belum update dengan patch “deteksi sintetik v2.0”. Maka deepfake pun melenggang, dari konten politik sampai penipuan keluarga, dari pornografi non-konsensual sampai manipulasi pasar. Industri menyebutnya “media sintetis”, regulator menyebutnya ancaman integritas publik, dan kita, para pengguna, menyebutnya “pusing tujuh keliling”.

Rambu Menyala, Modus Berulah, Inilah Situasi Terkini Deepfake
Regulasi mulai memasang rambu besar di jalan tol konten. Di Eropa, aturan seperti EU AI Act mewajibkan konten yang dibuat atau diubah AI agar diberi label yang terbaca manusia dan mesin. “Label” di sini bukan sekadar catatan di deskripsi, melainkan sinyal yang bisa dicek alat: ibarat label gizi pada bungkus mi instan, hanya saja ini untuk asal-usul media (disebut provenance, yaitu riwayat siapa membuat, kapan, dan bagaimana diolah). Tujuannya sederhana, penonton tahu apa yang mereka tonton, dan platform punya dasar bertindak ketika ada manipulasi.
Di Amerika Serikat, otoritas telekomunikasi menyatakan robocall (panggilan otomatis massal) yang memakai voice cloning adalah pelanggaran. Voice cloning adalah replika suara seseorang dengan pembelajaran mesin yang meniru nada, intonasi, dan ritme sehingga terdengar seperti orang aslinya. Dampaknya langsung: operator bisa memblokir jalurnya, pelaku bisa ditindak, dan kampanye menipu suara “mirip tokoh” tidak lagi bebas melenggang.
Platform besar ikut menambah pagar. YouTube mewajibkan kreator mengungkap jika konten mereka realistis tapi sintetis, yakni video yang bisa mengecoh penonton sebagai kejadian sungguhan. Label akan tampil di deskripsi dan bisa muncul di halaman tonton untuk topik sensitif seperti pemilu, berita, kesehatan, dan finansial. Bahasa sederhananya: kalau videomu berpotensi menipu mata, jujurlah dari awal, kalau tidak, siap-siap kena pukulan.
Di hulu, industri membangun “kartu servis” untuk file visual: Content Credentials berbasis standar C2PA sebuah metadata terverifikasi yang menempel sepanjang rantai produksi, dari kamera ke aplikasi pengeditan hingga platform rilis. Kamera tertentu bahkan sudah bisa menanamnya langsung di titik tangkap. Ini bukan watermark biasa; ini kuitansi digital tentang siapa mengubah apa dan kapan, sehingga publik dan redaksi bisa melacak.
Sementara itu, watermark tak kasatmata seperti SynthID menanam tanda di dalam piksel gambar atau frame video yang tak terlihat mata, tapi dapat terdeteksi alat. Kini ada pula detektor publik yang memudahkan pengecekan. Batasnya jelas: kalau pembuat memakai model tanpa watermark atau mengedit berat sampai tanda rusak, deteksi bisa lolos. Karena itu, watermark harus ditemani provenance (riwayat) dan moderasi platform.
Dampak nyatanya sudah terasa. Sebuah firma rekayasa global dilaporkan kehilangan puluhan juta dolar setelah stafnya menghadiri rapat video berisi “kolega” yang ternyata deepfake. Wajahnya dikenal, suaranya meyakinkan, instruksinya “darurat”, yang kalah adalah prosedur verifikasi. Pelajarannya klasik: tanpa callback (verifikasi lewat jalur lain, misalnya telepon kantor yang tersimpan) dan aturan dua orang untuk satu transfer (dual control: keputusan penting butuh dua pihak berbeda), organisasi sebesar apa pun bisa terpeleset.
Di Indonesia, kementerian dan lembaga terkait berkali-kali mengingatkan masyarakat: jangan telan bulat video pejabat “berpidato” yang aneh; cek kanal resmi, jangan forward sebelum verifikasi, dan ajari keluarga mengenali konten manipulatif. Negara bicara kebijakan, platform bicara label, kita bicara kebiasaan, tiga hal ini harus jalan bareng supaya kepala tak pening tiap kali ada video “heboh”.

Dari Politik ke Dompet, dari Kamar Redaksi ke Grup Keluarga
Pemilu & opini publik—robocall suara “Biden”, New Hampshire (AS). Menjelang primary New Hampshire 2024, konsultan politik Steven Kramer mengirim robocall (panggilan otomatis massal) yang meniru suara Presiden Joe Biden memakai voice cloning (replika suara lewat pembelajaran mesin). FCC kemudian mengetuk denda US$6 juta untuk pelanggaran ini, bahasa sederhananya: suara palsu yang dipakai untuk memengaruhi pemilih itu pelanggaran, bukan “kreativitas”.
Penipuan korporat—rapat video palsu di Arup, Hong Kong. Awal 2024, staf Arup (firma rekayasa Inggris) di kantor Hong Kong mengikuti “rapat” berisi wajah & suara pimpinan yang ternyata deepfake. Instruksi transfer pun dijalankan, dan totalnya membengkak hingga US$25 juta. Kasus ini jadi pengingat bahwa tanpa callback ke nomor whitelist dan dual control (dua orang menyetujui satu transfer), rasa percaya bisa mengalahkan SOP dalam hitungan menit.
Kekerasan berbasis gender—Taylor Swift, platform X. Akhir Januari 2024, X (Twitter) memblokir sementara pencarian “Taylor Swift” setelah gambar deepfake seksual non-konsensual penyanyi itu menyebar liar. Pencarian kemudian dibuka kembali, tetapi kasusnya menegaskan satu hal: takedown bisa cepat, namun jejak sebaran sering lebih cepat lagi.
Indonesia—klarifikasi cepat, literasi jadi pagar terdekat. Komdigi meluruskan video “pidato Mandarin Presiden Jokowi” sebagai disinformasi, contoh cheapfake (suntingan + sulih suara) yang tampak halus padahal palsu. Tahun 2025, Sri Mulyani juga diseret video deepfake yang mencomot potongan pidato dan memelintir konteks; Kemenkeu dan media arus utama mengklarifikasi itu sebagai hoaks. Terjemahan untuk grup keluarga: tahan jempol 10 detik, cek kanal resmi, lalu bandingkan dengan rilis dan rekaman yang sah.

Mengapa Deepfake “Nyetel” di Otak Kita
Kita percaya wajah karena berevolusi untuk itu. Gerak bibir, pantulan cahaya di mata, jeda napas, otak merangkai semua isyarat kecil itu menjadi “keaslian”. Deepfake, yakni media audio dan visual yang dibuat atau diubah AI agar tampak asli, menyerang langsung intuisi ini. Begitu sugesti awal terserap, terutama kalau sesuai selera atau keyakinan, otak cenderung mencari pembenaran (bias konfirmasi) dan mengabaikan sinyal ganjil.
Algoritme media sosial menambah bensin ke api. Konten yang memancing emosi, amarah, takut, terharu, cenderung dipromosikan karena menghasilkan interaksi. Di zona ini, cheapfake sering lebih berbahaya dari deepfake: cheapfake adalah manipulasi murah dan sederhana (misalnya memotong video, mengganti teks, menambah voice-over dramatis) yang tidak selalu pakai AI, tetapi sama-sama menipu karena memelintir konteks. Hasilnya: “emosi dulu, cek belakangan.”
Di ruang finansial, voice cloning memampatkan waktu penipuan menjadi menit. Pelaku cukup memanen 30 detik sampel suara (dari TikTok, podcast, atau video keluarga), sisanya tinggal skrip. Kombinasi video call palsu + instruksi transfer + nuansa darurat sering mematikan logika. Tanpa kata sandi internal (kode keluarga atau kode proyek), out-of-band verification (verifikasi di luar kanal yang sama), dan dual control, “rasa percaya” bisa mengalahkan SOP.

Sabuk Kepercayaan: Kebiasaan Kecil yang Menyelamatkan
Di era wajah pinjaman dan suara sewaan, pertahanan terbaik bukan aplikasi ajaib, melainkan ritual kecil yang diulang tanpa bosan. Mulailah dengan rem 10 detik sebelum percaya, lalu lakukan verifikasi lintas kanal, callback artinya menelepon balik ke nomor lama yang sudah tersimpan, bukan ke kontak baru di pesan. Tambahkan kata sandi keluarga/kode internal, dan untuk keputusan bernilai besar terapkan dual control: dua orang, satu persetujuan. Untuk konten, minta Content Credentials (C2PA), riwayat perjalanan file digital yang menunjukkan siapa mengubah apa dan kapan, serta pakai pencarian gambar terbalik untuk melacak asal-usul. Intinya sederhana: jangan buru-buru, jejakkan bukti, baru melangkah.
Untuk Individu — “Lambat 10 Detik, Selamat 10 Tahun”
Ambil jeda sebelum share. Jika konten bikin panas kepala, itu desainnya. Buka sumber kedua (media kredibel, rilis resmi), lakukan pencarian gambar terbalik (reverse image search: unggah gambar untuk mencari kemunculan sebelumnya), dan callback ke nomor lama yang disimpan. Pakai kode keluarga sederhana yang hanya diketahui orang terdekat, supaya penipu bersuara mirip tersandung di pertanyaan mudah.
Untuk Redaksi & Humas — “Kunci Dua Pintu, Lampu Tetap Terang”
Siapkan playbook: holding statement (pernyataan awal singkat), juru bicara, dan paket bukti berisi file mentah (raw footage), metadata (data tentang data: tanggal pemotretan, kamera, lokasi), dan checksum (sidik jari digital file; angkanya berubah kalau file diubah). Terapkan two-editor rule (dua editor meninjau konten sensitif) dan lakukan verifikasi lintas kanal: jangan hanya balas email—telepon sumber yang sudah terdaftar.
Untuk Organisasi & Keuangan — “Dua Orang, Satu Transfer”
Jalankan dual control untuk transaksi di atas ambang tertentu: pemberi perintah tidak boleh eksekutor. Terapkan out-of-band verification (konfirmasi melalui kanal berbeda) untuk semua instruksi finansial yang datang dari video call atau email. Simpan whitelist nomor resmi, dokumentasikan prosesnya, dan uji coba prosedur berkala—karena saat panik, orang cenderung melompati aturan.
Untuk Platform & Vendor — “Labelkan, Logkan, Laporkan”
Labelkan konten AI realistis secara default, sediakan jalur banding dan takedown cepat untuk deepfake non-konsensual. Dukung Content Credentials (C2PA) dari hulu ke hilir, bukan cuma menempel watermark. Watermark memberi tanda di piksel, provenance memberi cerita perjalanan file. Keduanya saling melengkapi.

Content Credentials (C2PA) adalah provenance—riwayat perjalanan file yang ditandatangani secara kriptografis. Ibarat buku servis kendaraan: tercatat siapa pemilik, kapan servis, dan apa yang diganti. Kelebihan: transparan untuk publik dan media. Kekurangan: adopsi belum merata; belum semua kamera, editor, dan platform membaca/menjaga label dengan disiplin.
Watermark tak kasatmata seperti SynthID adalah tanda yang disisipkan ke piksel. Mata manusia tak melihatnya, tetapi alat pendeteksi bisa. Kelebihannya: pemeriksaan cepat untuk volume besar. Keterbatasannya: bergantung pada generator yang mau menyematkan watermark dan bisa terkikis oleh edit berat. Karena itu, strategi yang sehat adalah kombinasi: watermark + provenance + moderasi platform + literasi pengguna.
Detektor deepfake (model yang menilai “asli vs sintetis”) berguna sebagai sinyal, namun bukan hakim terakhir. Di alam liar—video terkompresi, riasan pengeditan berlapis, domain di luar data latih—akurasi bisa turun. Maka, pertahanan operasional seperti callback, dual control, dan two-editor rule tetap jadi jagoan tanpa jubah; teknologi adalah pelengkap yang menambah gesekan bagi pelaku.

Dari Meja Regulator ke Beranda Kita: Siapa Berbuat Apa
Di panggung global, rambu-rambu mulai menyala: platform menuntut pengungkapan ketika konten AI terlihat “nyata”, regulator menegaskan bahwa suara tiruan untuk menipu bukan sekadar nakal, itu pelanggaran. Bahasa jalanannya begini, kalau videomu bisa mengecoh, sejak awal harus jujur; kalau panggilanmu pakai suara palsu untuk mengarahkan pilihan orang, siap-siap ditindak. Penegakan memang tak selalu secepat akal bulus pelaku, tapi setidaknya panggung dan skripnya sudah jelas. Di sisi kita, ini artinya jangan lagi menganggap label sekadar hiasan, itu sabuk pengaman informasi.
Di Indonesia, nomenklatur kementerian berganti, janji literasi dan moderasi digelar, tapi pilar yang benar-benar bisa dipasang hari ini tetap satu: literasi kritis. Belum ada standar pelabelan lintas-platform yang benar-benar terasa sampai ke lini terdepan (timeline dan grup keluarga), maka kebiasaan sehat harus mengisi celah: tahan jempol, cek sumber, verifikasi lintas kanal. Kita tidak menunggu papan pengumuman turun dari langit; kita mulai dari yang bisa dilakukan di dapur sendiri. Saat kebijakan melangkah, kebiasaan baik sudah berlari duluan.
Biar adil, peta tugasnya begini: regulator menyusun aturan yang bisa diperiksa, jelas siapa wajib melabeli dan kapan harus menindak. Platform menempelkan label yang mudah dilihat, membuka jalur banding dan takedown cepat, serta mendukung jejak asal-usul konten (C2PA) dari hulu ke hilir. Kita-warga, redaksi-kantor memasang rem 10 detik, melakukan callback ke nomor lama, menerapkan dual control untuk keputusan bernilai besar, dan mengarsipkan bukti (raw, metadata, checksum). Karena pada akhirnya, dari meja regulator sampai beranda kita, kepercayaan itu urusan bersama yang bocor, dompet kita juga yang ikut basah.
Checklist “Cara Menghadapi”
-
Orang & Rumah Tangga. Jeda 10 detik; cek sumber kedua; lakukan callback ke nomor lama; pakai kode keluarga.
-
Tim Redaksi/Komunikasi. Playbook insiden; simpan raw footage + metadata + checksum; two-editor rule; minta provenance saat menerima materi dari pihak ketiga.
-
Kantor/Keuangan. Whitelist nomor; dual control transaksi; out-of-band verification; audit proses “urgent wire” (transfer darurat).
-
Platform/Vendor. Label AI realistis; adopsi C2PA; rate limit (batas unggahan/penayangan massal) untuk topik sensitif; takedown cepat untuk deepfake non-konsensual.

Wajah Dipinjam, Suara Disewa—Akal Sehat Tetap Merdeka
Jika suara bisa dipinjam dan wajah bisa disalin, apa yang tersisa dari “bukti”? Jawabannya: prosedur yang kita patuhi, jejak yang bisa diaudit, dan keberanian berkata “tunggu, saya cek.” Mungkin inilah revolusi paling sunyi di era bising, kita belajar lagi cara percaya, bukan pada apa yang terasa nyata, melainkan pada apa yang bisa diverifikasi. Pada akhirnya, deepfake paling berbahaya bukan yang meniru tokoh favoritmu, melainkan yang membuatmu berhenti bertanya.
Mulailah dari kebiasaan sederhana yang diulang tanpa bosan: jeda 10 detik sebelum berbagi, callback ke nomor lama yang sudah disimpan, pakai kata sandi keluarga atau kode internal, dan pastikan setiap keputusan finansial bernilai besar lewat dual control—dua orang, satu persetujuan. Untuk konten, minta Content Credentials (jejak perjalanan file digital), simpan raw footage dan checksum agar klarifikasi berubah dari adu opini jadi adu bukti. Kalau platform memberi label AI, baca; kalau tidak, anggap bisa salah dan cari sumber kedua. Ini bukan paranoid, ini hemat ongkos memperbaiki citra dan saldo. Di era salinan wajah dan tiruan suara, kehati-hatian bukan rem yang memperlambat hidup, melainkan gas yang mempercepat kita keluar dari jebakan kurungan.