Lewati ke konten

Dari Afdeeling Kolonial sampai Proyek Serbaguna, Nasib Sungai Brantas Tetap Serba Guna—Termasuk Buat Buang Limbah dan Sampah

| 5 menit baca |Opini | 10 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Supriyadi Editor: Supriyadi

Kalau sungai bisa ngomong, Brantas mungkin sudah lama nulis status panjang di Facebook: “Dulu aku diperjuangkan, sekarang cuma dipakai.” Dan status itu bakal terus mengalir sejauh 320 kilometer, meluber ke Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 1,19 juta hektare—karena ya, begitulah hidup Brantas, panjang, rumit, dan penuh drama di setiap tikungannya.

Sebagai sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo, Brantas bukan cuma soal air yang mengalir. Ia adalah urat nadi ekonomi, jalur sejarah, dan saksi bisu dari segala bentuk kesibukan manusia yang tinggal di tepinya.

Lahir di lereng Arjuno dan bermuara di Surabaya, Brantas punya kisah panjang—lebih panjang dari daftar utang kolonial yang diwariskan ke republik.

Dari masa Hindia Belanda sampai Indonesia merdeka, Brantas sudah jadi saksi bagaimana manusia—dan pemerintah—selalu punya cara unik dalam mengatur air. Kadang ilmiah, kadang politis, kadang ya asal-asalan saja.

#Afdeeling Brantas: Ketika Belanda Lebih Sayang Irigasi daripada Penduduk

Pada tahun 1901, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Irrigatie Afdeeling Brantas—semacam departemen pengairan zaman doeloe yang tugasnya mengatur aliran sungai, bendungan, dan banjir. Kedengarannya keren, tapi jangan baper dulu, tujuan utamanya bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan memastikan sawah tebu dan padi milik tuan tanah tetap subur.

Rakyat pribumi? Ya ikut basah saja kalau banjir datang, dan ikut kering kalau kemarau tiba.

Meski begitu, harus diakui, pemerintahan Hindia Belanda memang telaten dalam urusan teknis. Mereka membangun kanal, tanggul, dan sistem irigasi yang—untuk ukuran awal abad ke-20—cukup rapi dan maju. Mereka tahu betul, air adalah kunci ekonomi, bukan cuma soal pertanian, tapi juga soal siapa yang berkuasa atas hidup orang banyak.

Brantas saat itu jadi semacam “anak emas” sistem kolonial—dijaga, dipelajari, dan diukur debitnya dengan penuh kasih sayang, seperti pacar yang takut kehilangan.

Sayangnya, setelah Indonesia merdeka, banyak sistem warisan itu ikut “merdeka” juga—alias rusak perlahan, tenggelam bersama semangat pembangunan yang lebih sering sibuk cari proyek ketimbang menjaga sungai.

#Proyek Induk Serbaguna Kali Brantas: Ketika Sungai Naik Kelas Jadi Infrastruktur

Masuk tahun 1967, pemerintah Indonesia mulai sadar bahwa mengurus sungai nggak bisa cuma pakai niat baik dan doa hujan. Maka berdirilah Proyek Induk Serbaguna Kali Brantas, program besar yang dimotori oleh Departemen Pekerjaan Umum (dan tentunya semangat pembangunan Orde Baru). Kata kuncinya, serbaguna. Airnya bisa buat irigasi, listrik, air minum, pengendalian banjir, sampai perikanan. Pokoknya satu proyek untuk semua kebutuhan.

Brantas pun disulap jadi sungai yang sibuk. Di atasnya dibangun bendungan-bendungan megah—Karangkates, Selorejo, Lahor, Sengguruh—yang katanya jadi simbol kemajuan bangsa. Di bawahnya, air diatur sedemikian rupa supaya masyarakat bisa panen dua kali setahun, dan industri bisa terus menggiling tanpa khawatir kekeringan.

Kalau Brantas manusia, mungkin dia sudah jadi workaholic, kerja 24 jam, tapi gajinya tetap kotor – limbah dan sampah.

Tapi dari sinilah ide modern muncul, bahwa sungai harus dikelola secara terpadu. Sekitar awal 1970-an, muncul gagasan yang waktu itu dianggap revolusioner, “satu sungai, satu rencana, satu manajemen.” Artinya, semua aktivitas di Brantas—dari hulu sampai hilir—harus diatur dalam satu sistem. Tidak boleh ada kabupaten yang seenaknya buang limbah, atau pabrik yang merasa sungai ini miliknya pribadi.

Indah nian waktu itu. Tapi apa yang terjadi sesungguhnya? Seperti banyak rencana bagus di negeri ini, begitu ketemu birokrasi dan kepentingan industri, airnya langsung keruh lagi.

#Modernisasi yang Bikin Sungai Makin Tua Sebelum Waktunya

Sekarang, satu abad lebih sejak Irrigatie Afdeeling Brantas berdiri, Brantas sudah seperti pensiunan yang capek tapi tetap dipaksa kerja. Setiap hari dia menanggung debit air, limbah rumah tangga, limbah industri, bahkan sisa-sisa romantisme pejabat yang datang meninjau lalu hilang lagi.

Bendungan masih berdiri, tapi kualitas airnya menurun. Irigasi tetap ada, tapi ikannya makin sedikit. Bahkan di beberapa titik, ikan lebih cepat mati daripada nelayan sempat mancing.

Yang ironis, lembaga-lembaga pengelola sungai kini jumlahnya jauh lebih banyak daripada ikan yang hidup di dalamnya. Ada Balai Besar Wilayah Sungai, ada Dinas Lingkungan Hidup, ada perusahaan air minum, ada industri yang “mengelola” limbahnya sendiri. Semuanya mengklaim peduli, tapi hasilnya, Brantas tetap berwarna kopi susu. Dan bukan kopi yang enak, tapi susu kopi yang memabukkan dan bikin mati ikan-ikan.

Kadang saya pikir, Belanda dulu membentuk Afdeeling Brantas karena cinta pada efisiensi. Indonesia membentuk Proyek Induk Serbaguna karena cinta pada pembangunan. Tapi yang mencintai sungai apa adanya, mungkin cuma aktivis lingkungan yang tiap bulan turun ke sungai sambil bawa jaring dan doa.

#Sungai, Seperti Negara, Butuh Manajemen dan Kasih Sayang

Gagasan “satu sungai, satu rencana, satu manajemen terpadu” mungkin terdengar teknokratik. Tapi sebenarnya itu panggilan nurani, bahwa air nggak kenal batas administrasi. Banjir di Kediri bisa berawal dari hulu di Batu. Limbah di Jombang bisa mampir ke Surabaya.
Sungai itu seperti chat grup keluarga besar—semua orang saling nyumbang, tapi nggak semua kontribusi menyenangkan.

Kalau dulu Brantas jadi tumpuan kejayaan ekonomi kolonial dan pembangunan Orde Baru, kini dia jadi cermin masyarakat modern, penuh infrastruktur, tapi minim empati.

Sungai ini tidak butuh lagi proyek raksasa, tapi kejujuran kecil dari kita semua—yang masih suka buang popok, plastik, dan janji manis ke dalam airnya.

Karena bagaimanapun juga, Brantas ini serbaguna. Dulu untuk irigasi, sekarang untuk evaluasi, seberapa jauh kita sudah berubah, dan seberapa kotor hati kita ikut tercermin di airnya.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *