SURABAYA – Sepuluh aktivis Ecoton mengayuh empat perahu karet menyusuri aliran Kali Brantas Hilir di wilayah Surabaya. Perjalanan dimulai dari Kali Tengah, Desa Bambe, hingga ke intake PDAM Karangpilang—rute yang bagi sebagian orang mungkin tampak biasa, tapi bagi mereka adalah ziarah ekologis, Selasa (15/10/2025).
“Kami ingin kampanyekan hak-hak Sungai Brantas,” kata Daru Setyorini, Direktur Eksekutif Ecoton, di sela kegiatan. Di sepanjang penyusuran, mereka memasang plakat informasi yang memperingatkan warga agar tidak menggunakan air sungai untuk mandi atau diminum karena tingkat pencemaran yang tinggi.
Namun yang paling menyayat hati, kata Daru, adalah temuan 89 bangunan baru di bantaran sungai wilayah Taman dan Karangpilang serta lebih dari 40 timbunan sampah ilegal. “Sungai ini sudah seperti tempat buangan, bukan sumber kehidupan,” ujarnya lirih.
#Sungai Brantas, Entitas yang Bernyawa dan Bermartabat
Dalam konferensi persnya, Alaika Rahmatullah, Koordinator Kampanye Ecoton, menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar soal lingkungan, tapi soal keadilan ekologis.
“Kerusakan Sungai Brantas sepuluh tahun terakhir makin mengkhawatirkan. Pemerintah abai membiarkan sungai tercemar dan rusak. Sungai Brantas harus diakui sebagai makhluk hidup,” ujarnya.
Alaika, alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid Situbondo, menekankan bahwa Brantas bukan benda mati, tapi entitas hidup yang punya jiwa dan martabat setara makhluk lain. Dalam pandangannya, pencemaran sungai sama saja dengan tindakan dzolim terhadap alam.

#Dari Dusun Glagamalang, Deklarasi Keadilan Ekologis Dimulai
Rabu (15/10/2025), sepuluh lembaga dan komunitas lingkungan menandatangani Deklarasi Hak-Hak Sungai Brantas di Dusun Glagamalang, Desa Bambe, Gresik.
Deklarasi ini diawali dengan pemasangan papan larangan di tepi sungai—bertuliskan peringatan bahwa air Kali Surabaya telah tercemar logam berat, E. coli, dan mikroplastik. Pesannya sederhana tapi tegas: jangan gunakan air ini untuk mandi, berenang, apalagi diminum.
Setelah itu, dua perahu karet dan empat kanu kembali meluncur menyusuri Kali Surabaya. Para aktivis Ecoton melakukan inventarisasi sumber pencemaran dan sosialisasi hak-hak sungai kepada warga bantaran.
Maka itu, mereka menuntut pengakuan hak-hak atas Sungai Brantas sebagai makhluk hidup yang memiliki jiwa, martabat, dan hak untuk dihormati, bukan sekadar sumber air bagi manusia. Pengakuan ini diyakini menjadi langkah awal menuju keadilan ekologis, di mana alam tidak lagi diperlakukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai mitra kehidupan yang setara.
#Tujuh Hak Sungai Brantas: Dari Hak Mengalir hingga Hak Mengajar Manusia
Menurut Ecoton, Sungai Brantas harus diakui sebagai subjek hukum ekologis dengan hak-hak yang melekat, tak bisa dicabut siapa pun. Alaika menjelaskan tujuh hak Sungai Brantas yang akan diperjuangkan:
- Hak untuk hidup dan mengalir secara alami tanpa hambatan atau polusi.
- Hak untuk tetap utuh secara ekologis bersama anak sungai dan ekosistemnya.
- Hak untuk bebas dari pencemaran dan eksploitasi berlebihan.
- Hak untuk dipulihkan bila rusak oleh ulah manusia.
- Hak untuk diwakili dan dibela secara hukum maupun moral.
- Hak untuk dihormati dalam setiap kebijakan pembangunan dan tata ruang.
- Hak untuk mengajarkan manusia hidup selaras dengannya.

“Kalau manusia punya hak asasi, sungai pun punya hak untuk dihormati,” ujar Alaika. “Keadilan ekologis tak akan lahir tanpa pengakuan terhadap hak-hak alam.”
#Dari Cinta dan Amarah: Ekologi yang Berjiwa
Amirudin Muttaqin, pendamping masyarakat Ecoton, menyebut perjuangan ini lahir dari dua hal, cinta dan amarah. Cinta pada sungai yang menjadi nadi kehidupan Jawa Timur, dan amarah pada perilaku manusia yang dzolim terhadap alam.
“Brantas mengalir dari hulu hingga hilir membawa sejarah, budaya, dan kehidupan bagi manusia, hewan, serta ekosistem. Tapi selama berabad-abad ia justru disakiti,” kata Amirudin.
Bagi Ecoton, pengakuan terhadap hak-hak sungai adalah langkah moral dan politik menuju tata kelola sungai yang berlandaskan cinta, penghormatan, dan tanggung jawab ekologis.
Karena sungai bukan sekadar air yang mengalir—ia adalah kehidupan yang selama ini diam, tapi kini mulai bicara lewat suara mereka yang peduli.***