Lewati ke konten

Dari Halmahera ke Lakardowo Mojokerto: Saat Aktivis Sagea Belajar Menyapa Sungai dengan Ilmu dan Empati

| 4 menit baca |Ide | 89 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Supriyadi Editor: Marga Bagus

GRESIK– Di Halmahera Tengah, ada satu tempat bernama Sagea — desa kecil yang airnya dulu sebening kaca, kini mulai beraroma industri. Di sana, sungai bukan sekadar aliran air, tapi juga sumber kehidupan, dapur, dan cerita masa kecil yang kini mulai keruh karena tambang nikel. Dari situlah delapan aktivis muda berangkat, menempuh ribuan kilometer menuju Jawa Timur. Tujuannya bukan wisata, tapi wisata ilmu, belajar bagaimana menjaga sungai dengan cara ilmiah, tapi tetap manusiawi.

Mereka datang dengan semangat seperti anak pramuka yang baru dapat badge baru. Delapan orang, semua anggota Komunitas Fakawele — jaringan aktivis pecinta sungai dari Maluku Utara — berkunjung ke Yayasan Ecoton di Gresik, Jawa Timur. Di sanalah mereka belajar menjadi ilmuwan warga (citizen scientist), bukan di laboratorium mahal, tapi di sungai dan pemukiman yang sesungguhnya.

#Dari TDS sampai pH: Sungai yang Bisa Dibaca dengan Angka

Hari pertama, para aktivis Sagea diperkenalkan dengan alat-alat kecil yang tampak sederhana, tapi ampuh membongkar rahasia air. Ada TDS meter, pH meter, dan alat uji logam berat. Semua terlihat seperti mainan sains, tapi hasilnya bisa menentukan apakah sungai sedang “sehat” atau “sakit”.

“Baru kali ini saya tahu kalau air bisa dibaca pakai angka,” ujar Awaludin, salah satu peserta yang juga staf Fakawele, Senin (6/10/2025). Ia tampak kagum sekaligus geli melihat angka di layar alat ukur bisa menentukan nasib ikan di sungai.

Ecoton tak hanya mengajarkan cara menekan tombol alat, tapi juga filosofi di baliknya. Bahwa angka TDS bukan sekadar angka, tapi kisah tentang limbah, logam berat, dan siapa yang paling diuntungkan dari pencemaran.

“Kalau pH-nya turun drastis, itu artinya bukan cuma ikan yang susah hidup. Manusia pun bisa ikut sakit,” ujar Amirudin Muttaqin fasilitator Ecoton dengan nada setengah bercanda, setengah sindiran.

#Dari Lakardowo ke Wonosalam: Belajar dari Warga yang Tak Menunggu Surat Edaran

Setelah puas bermain air di laboratorium mini di Wringinanom, Gresik, rombongan dibawa ke Green Woman Lakardowo, Mojokerto, komunitas perempuan yang selama bertahun-tahun melawan pencemaran limbah B3. Di sana, para aktivis Sagea belajar tentang citizen science bukan dari teori, tapi dari dapur warga.

“Di sini, ibu-ibu yang pegang alat ukur air. Mereka yang ambil sampel, mereka yang kirim laporan,” ujar salah satu relawan Ecoton sambil tersenyum.

Bagi rombongan Sagea, ini pengalaman yang membuka mata. Bahwa menjaga sungai tak perlu menunggu gelar sarjana, cukup niat, keberanian, dan satu botol air sungai untuk diuji.

“Luar biasa. Kami bisa belajar langsung dari masyarakat. Ternyata pemantauan air bisa dilakukan siapa saja, bukan hanya pemerintah,” kata Awaludin. Matanya berbinar seperti baru menemukan formula baru dalam kehidupan.

Perjalanan belum selesai. Hari terakhir, mereka diajak ke SMPN 1 Wonosalam, tempat lahirnya Polisi Air — sekelompok siswa yang rutin memantau Sungai Gogor dengan metode Biotilik. Anak-anak SMP itu memegang nampan, jaring plankton, dan sendok plastik. Sementara orang dewasa di sekitar mereka masih memegang rapat surat izin industri.

Melihat itu, salah satu peserta asal Halmahera bergumam pelan, “Di tempat kami, yang pakai jaring itu Perusahaan untuk merusak sungai. Di sini, anak sekolah menjaga sungai.”

#Belajar dari Sungai, Bukan dari Spanduk

Kesan mereka selama kunjungan dirangkum sederhana tapi jujur. “Kami banyak belajar di Ecoton, terutama bagaimana membaca kesehatan sungai lewat biotilik. Dan yang paling berkesan adalah melihat bagaimana masyarakat dan sekolah di sini melakukan citizen science dengan semangat gotong royong,” tutur Awaludin (29).

Ia menambahkan harapannya agar pengetahuan itu tak berhenti di Jawa Timur. “Semoga semua yang kami pelajari bisa diterapkan di Sagea, terutama dalam pemantauan sungai yang sekarang terancam tambang nikel,” ujarnya.

Tentu, untuk bisa menerapkannya, mereka harus berhadapan dengan banyak tantangan, dari izin tambang yang seperti tak habis-habis, sampai pemerintah daerah yang lebih sering menggelar rapat daripada menengok sungai.

Namun, setidaknya ada secercah harapan yang mengalir dari Gresik ke Halmahera, bahwa menjaga air bisa dimulai dari alat ukur sederhana dan niat yang tak sederhana.

#Dari Sagea ke Gogor: Air yang Menghubungkan

Perjalanan ini bukan sekadar kunjungan belajar, tapi pertemuan dua realitas, air yang ditambang dan air yang dijaga. Di satu sisi, Sagea bergulat dengan nikel yang mengubah warna sungai, di sisi lain, Jombang memperjuangkan agar airnya tetap jernih.

“Air itu punya ingatan,” kata salah satu peserta sambil menatap aliran Sungai Gogor. “Kalau kita kotori hari ini, dia akan mencari kita besok.”

Tak ada pita peresmian, tak ada baliho “Hijau Berkelanjutan”. Tapi dari sungai-sungai kecil seperti Gogor dan Sagea, tumbuh kesadaran besar, bahwa menjaga alam tak butuh jabatan tinggi, cukup hati yang tak tega melihat air berubah jadi limbah.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *