DI TENGAH orang Indonesia, bambu bukan cuma jadi bahan sapu atau pagar rumah. Ia bisa bernyanyi, menari, bahkan berdiplomasi.
Dan tahun ini, tepatnya 15 November 2025, San Francisco akan mendengar bagaimana bambu itu berbicara lewat nada.
Namanya World Angklung Day (WAD), perayaan 15 tahun sejak UNESCO mengakui angklung sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia (2010–2025).
Bukan sekadar konser, tapi bentuk “soft power diplomacy” paling adem yang pernah dimiliki bangsa ini: bikin dunia jatuh cinta tanpa perlu ribut soal geopolitik.
#Dari Percakapan Biasa ke Panggung Dunia
Semua bermula dari obrolan santai para diaspora Indonesia di California. Salah satunya, Ari Sufiati — yang awalnya cuma ingin bikin konser kecil di community center. Tapi seperti bambu yang tumbuh cepat setelah hujan, ide itu berkembang liar.
Ia membawa ide itu pulang ke Indonesia, berdiskusi dengan aktivis angklung Tricia Sumarijanto, dan “gayung bersambut” dengan KJRI San Francisco. “Tidak menyangka, ide sederhana ini mendapat sambutan luar biasa,” ujar Ari.
Tiga bulan kemudian, Indonesia Lighthouse dipercaya jadi penyelenggara utama. Bantuan datang dari segala penjuru: KBRI Washington DC, Kementerian Kebudayaan, Paragon Corp, BCA, sampai komunitas diaspora di Bay Area.
Semuanya satu suara, meski, seperti angklung, tiap orang cuma pegang satu nada.
#Booth, Bambu, dan Bumbu Nusantara
Sebelum konser dimulai, pengunjung bisa mampir dulu ke berbagai booth bertema Indonesia.
Ada booth kuliner (pastinya ada rendang, sambal, dan mungkin teh manis yang lebih manis dari pujian), pariwisata (Wonderful Indonesia tidak pernah absen), hingga booth kecantikan dan photo booth interaktif.
Ari bilang, “Kami ingin program ini menghubungkan komunitas angklung lintas wilayah.”
Dan benar saja, bahkan KJRI San Francisco menyiapkan tamu diplomat dan perwakilan organisasi internasional.
Satu lagi bukti bahwa diplomasi budaya tidak harus kaku — cukup bambu dan semangat gotong royong.

#Nada-nada yang Menyatukan Iman dan Bangsa
Salah satu hal paling menarik dari WAD adalah kolaborasinya lintas komunitas dan lintas keyakinan.
Ada Angklung Gereja Kristen Indonesia San Jose, Manshur Angklung dari Indonesia, dan tentu saja Angklung Cendrawasih sebagai tuan rumah.
“Latihan kami baru 50 persen, tapi semangatnya 100 persen,” kata Yuli Grimes, salah satu anggota Cendrawasih.
Mereka akan memainkan empat lagu sendiri dan sisanya bersama komunitas lain.
Bayangkan, deretan bambu digetarkan oleh tangan-tangan dari berbagai bangsa, keyakinan, dan latar belakang semuanya menyatu dalam irama yang sama.
Kalau itu bukan harmoni, mungkin dunia memang perlu belajar lagi dari bambu.
#Dari Warisan ke Legacy
Tagline acara ini sederhana tapi dalam, “From Cultural Heritage to Legacy.”
Karena warisan budaya tidak akan hidup kalau hanya dipajang di museum atau dipamerkan setahun sekali. Ia harus dimainkan, dijaga, dan dikembangkan.
“Angklung bukan sekadar alat musik, ia adalah bahasa harmoni yang menyatukan dunia,” tegas Ari.
Ia berharap gema angklung tidak berhenti di San Francisco, tapi terus menggema ke berbagai penjuru dunia.
“Setiap November, dunia harus mendengar bunyi bambu Indonesia,” katanya.
Atau, seperti ia menyebutnya dengan bangga: “Mengangklungkan dunia, menduniakan angklung.”
#Satu Nada dalam Keindahan
“Angklung punya filosofi harmoni, setiap orang memegang satu nada, dan keindahan lahir ketika dimainkan bersama.” — Ari Sufiati, penggagas World Angklung Day
Karena mungkin, di dunia yang makin sering bertengkar, yang kita butuhkan bukan pidato panjang atau resolusi politik, melainkan denting bambu yang mengingatkan, keindahan justru lahir dari keberagaman nada yang dimainkan bersama.***