SEMUANYA bermula dari sebuah video di akun instagram @surabaya.terkini. Dalam video itu, puluhan ikan terlihat mengapung di permukaan air Kali Rolak Jagir, Surabaya, seolah sedang healing sambil lupa cara menyelam. “Yoopo menurutmu rek? Kabarnya kejadian pagi tadi,” tulis admin akun tersebut, Selasa (28/10/2025).
Tak butuh waktu lama, kolom komentar jadi warung kopi digital. Ada yang menduga pintu air dibuka, ada yang bilang air laut ketemu air hujan bikin ikan “mumet kabeh”. Bahkan ada yang nyeletuk, “Iwak e lagi ngombe iku.”
Warganet lain menambahkan bumbu mistis, “Golek tumbal,” katanya. Ada juga yang mendadak jadi pakar iklim dadakan, lengkap dengan teori suhu permukaan dan kadar CO₂.
Dari yang lucu, serius, sampai ngawur, semuanya tumpah di satu kolom komentar. Begitulah khasnya warga Surabaya, kalau ada kejadian, yang pertama muncul bukan teori ilmiah, tapi lawakan kolektif.
#DLH Turun Tangan: DO Kita Rendah, tapi Do’a Kita Lebih Rendah Lagi
Setelah video viral, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya langsung turun tangan. Kepala DLH, Dedik Irianto, menjelaskan kalau penyebabnya bukan karena “ikan masuk angin” seperti kata netizen, tapi karena kadar Dissolved Oxygen (DO) dalam air sungai yang drop parah.
Dari hasil pengukuran Tim Penegakan Hukum Lingkungan Hidup (PPKLH), kadar DO cuma 1,5 mg/L, padahal idealnya minimal 3 mg/L. Artinya, ikan-ikan itu bukan mabuk arak, tapi kehabisan oksigen.
“DLH akan terus memantau kualitas air dan menyiapkan langkah mitigasi,” kata Dedik.
Dalam bahasa manusia biasa, sungai Surabaya sedang megap-megap.
Dalam Bahasa Arek Surobojo-nya: mungkin inilah satu-satunya “kemabukan massal” yang disebabkan bukan karena miras, tapi karena dosa ekologis kolektif.
#ITS Bicara: Hujan Pertama, Polusi Lama
Penjelasan ilmiah datang dari Prof. Dr. Harmin Sulistiyaning Titah dari Departemen Teknik Lingkungan ITS Surabaya. Menurutnya, fenomena ikan mabuk ini lazim di masa peralihan musim. Selama kemarau, polutan organik mengendap di dasar sungai seperti masa lalu yang belum selesai.
Begitu hujan pertama turun, semua endapan itu “terangkat” ke permukaan. Hasilnya, oksigen dalam air direbut habis oleh reaksi kimia dan mikroorganisme. “Ikan jadi kekurangan oksigen, naik ke permukaan buat bernapas,” jelasnya.
Kalau diibaratkan manusia, ini seperti tinggal di ruangan penuh asap rokok tanpa jendela terbuka. Bedanya, ikan nggak bisa buka ventilator, apalagi pasang kipas angin.
#Sungai yang Tak Butuh Kasihan, tapi Kesadaran
DLH mengimbau warga agar tak membuang sampah ke sungai. Tapi imbauan itu sering tenggelam bersama botol plastik dan sisa sabun cuci piring.
Masalahnya bukan hanya sampah, tapi kebiasaan, sungai dianggap got besar yang bisa menelan semua dosa domestik.
Dulu, kata seorang netizen, di tahun 90-an orang menyebut momen ini “munggut iwak”, momen bahagia menangkap ikan mabuk. Tapi yang dulu dianggap rezeki, kini sebetulnya tanda sakit.
Surabaya bisa saja punya banyak taman kota dan trotoar kece, tapi kalau sungainya masih sesak napas, percuma. Karena sungai bukan hanya urat nadi kota, tapi juga cermin, sejernih apa kita memperlakukan lingkungan.
Dan kalau fenomena ini terulang lagi, mungkin bukan ikan yang mabuk, melainkan kita yang kebanyakan menyepelekan.***