JOMBANG – Oktober baru berjalan beberapa hari, tapi perut ratusan siswa di Jombang sudah mulai “puasa paksa”. Bukan karena tren diet baru, tapi karena program Makan Bergizi Gratis (MBG) tiba-tiba berhenti.
Yang biasanya jam makan siang disambut aroma lauk dari dapur penyedia, kini yang ada cuma suara perut keroncongan bersahutan dengan lonceng pulang sekolah.
#“Katanya untuk perbaikan”
Kepala SMPN 1 Jombang, Rudy Priyo Utomo, mengaku siswanya sudah seminggu ini tidak menerima suplai makanan dari dapur MBG. Pemberitahuan pun datang mendadak, tanpa kejelasan.
“Katanya untuk perbaikan dulu. Tapi kami tidak tahu perbaikan seperti apa dan berapa lama. Informasinya tidak detail,” katanya.
Hal yang sama dirasakan Kepala SMPN 2 Jombang, Etik Nuroidah. Dapur MBG dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kepatihan berhenti total sejak Kamis (2/10/2025).
“Iya, per hari Kamis sudah tidak disuplai. Alasannya ada perbaikan. Sampai kapan, belum ada kejelasan,” ujarnya, seolah sudah hafal pola klasik birokrasi, kalau nggak jelas, pasti katanya “masih dievaluasi”.
#Evaluasi, kata siapa?
Sekretaris Daerah Jombang, Agus Purnomo, membenarkan ada “evaluasi internal”. “Yang saya tahu ada evaluasi supaya pelaksanaannya lebih baik. Laporan resmi belum kami terima,” katanya diplomatis — khas pejabat yang sedang mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di bawahnya.
Masalahnya, evaluasi ini kayak nasi goreng tanpa kecap, nggak jelas bumbunya di mana.
Pihak dapur juga bingung. Lilis Wijayati, dari Yayasan Puspa Wijaya Abadi selaku pengelola dapur MBG SPPG Kepatihan, membantah kalau dapurnya ditutup Badan Gizi Nasional (BGN).
“Tidak benar kalau ditutup BGN,” katanya singkat, tanpa mau menambah lauk cerita.
Lucunya, pihak BGN Jombang justru mengaku belum tahu apa-apa. “Yang saya tahu hanya dapur SPPG Kepatihan yang terhenti,” ujar Deni Setiawan, penanggung jawab BGN Jombang.
Sampai di sini, kita belum tahu sebenarnya siapa yang “mencabut colokan” dapur MBG, vendor? BGN? atau mungkin sistemnya sendiri yang overheat?
#Dapur banyak, yang hidup sedikit
Bupati Jombang Warsubi rupanya ikut kesal. Menurutnya, dari 174 dapur MBG yang seharusnya beroperasi, baru 16 dapur yang benar-benar jalan.
“Semua harus terlibat, masyarakat, sekolah, guru juga harus ikut karena ini program Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Kalimat yang terdengar semangat, tapi juga menyimpan keprihatinan, kalau 174 dapur baru 16 yang hidup, ini berarti tingkat “kematangan dapur” MBG di Jombang baru sekitar 9 persen — itu pun belum tentu matang sempurna.
Bupati Warsubi juga menekankan agar pengawasan jangan cuma dibebankan ke pemerintah daerah.
“Guru, sekolah, orang tua, bahkan masyarakat harus ikut memantau,” tegasnya.
Kalimat yang bagus — tapi ya, orang tua mana sempat memantau dapur sekolah, kalau untuk urusan dapur rumah saja kadang cuma sempat beli lauk di warung.
#Dari program gizi, jadi masalah gizi
Tujuan MBG sebetulnya mulia, memastikan anak sekolah tidak belajar dalam keadaan lapar. Tapi ironisnya, ketika dapur berhenti, malah muncul masalah gizi baru, kekurangan informasi.
Pihak vendor, pemerintah, hingga pengelola dapur sama-sama punya versi sendiri, tapi tak satu pun yang menyajikan kejelasan.
Anak-anak menunggu makanan, guru menunggu kabar, sementara yang datang hanya kata “evaluasi”.
Kalau dibiarkan, program “Makan Bergizi Gratis” bisa berubah jadi “Menunggu Bergizi Gratis” — karena yang gratis cuma harapannya.***