PEMERINTAH Kabupaten Jombang, Jawa Timur, yang tengah menyiapkan rencana pengadaan sepeda motor operasional bagi kepala desa program Desa Mantra 2026. Bupati Warsubi berdalih, langkah ini bukan gaya-gayaan, melainkan bagian dari upaya peningkatan pelayanan publik di tingkat desa.
Namun, publik Jombang bereaksi keras. Kolom komentar Radar Jombang dipenuhi kritik tajam, dari yang sinis menyebutnya “balas jasa politik,” sampai yang menilai “lebih baik anggaran buat ndandani dalan jeglongan.” Warganet pun ramai-ramai mempertanyakan, siapa sebenarnya yang perlu dibantu, rakyat apa lurahnya?
#Motor Baru, Alasan Lama, Desa Mantra dan Janji Dana Jumbo
Bupati Warsubi menegaskan pengadaan motor dinas bagi pemerintah desa adalah kebutuhan operasional, bukan kemewahan. Menurutnya, motor terakhir yang diterima desa adalah Honda Revo keluaran 2015, bahkan sebagian masih pakai Shogun 125 tahun 2006.
“Sudah sebelas tahun belum ada pembaruan. Jadi ini bagian dari peningkatan pelayanan,” ujarnya. Motor baru itu, katanya, akan menunjang tugas-tugas administrasi, koordinasi ke kabupaten, dan pelayanan masyarakat.
Program Desa Mantra disebut-sebut sebagai strategi “kemandirian desa.” Melalui sistem transfer langsung ke rekening desa, tiap desa bakal menerima Rp800 juta sampai Rp1,3 miliar per tahun. Dana ini disebut bisa dipakai untuk berbagai kegiatan, mulai dari honor RT/RW, lumbung pangan, pelatihan wirausaha, hingga perbaikan jalan lingkungan.
Namun, di tengah janji manis itu, sorotan publik justru tertuju pada motor dinas yang dinilai kurang mendesak.
#“Bukan Urgensi, Tapi Gengsi” – Netizen Speak Up: dari Satire ke Sumpah Serapah
Aan Anshori dari LSM Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LinK) menyebut kebijakan itu “tidak memiliki urgensi.”
“Masih banyak rumah warga tidak layak huni, ribuan bayi stunting, dan jalan desa rusak berat. Mestinya anggaran diarahkan ke situ,” ujarnya.
Di lapangan, kritik paling tajam justru datang dari dunia maya. Kolom komentar akun postingan Jawa Pos Radar Jombang dipenuhi suara warganet yang geram dan sarkastik.
“Rakyatmu akeh seng mlarat, pengangguran. Iki malah lurah sing wes nduwe kendaraan sak gudang malah oleh bantuan. Anda waras PK bupati?” — tulis akun @Ayahmuzahra.
Nada sinis juga muncul dari akun @KimHoa yang menuding, “Wujud ungkapan rasa terima kasih Bupati kepada relawan Pilbup, tapi dibungkus program Desa.”
Sementara @MasAgung berkomentar, “Lurah wes sogeh-sogeh ji. Ibarat laut wes asin, kate mok uyahi maneh.”
Tak kalah pedas, @RelasiPlas menyindir, “Sekalian helikopter pak, nanggung sepeda motor. Benahin jalan, irigasi, tanggul.”
Dan akun @NdokCeplook menutup dengan kalimat telak, “Beli pakai uang pribadi silakan, tapi kalau pakai uang rakyat, izin dulu ke pemiliknya!”
#Antara Simbol, Servis, dan Sindiran
Rencana motor dinas ini seolah memperlihatkan dua wajah, di atas kertas, niatnya efisiensi dan pelayanan; tapi di mata warga, baunya aroma “politik balas jasa.” Di tengah jalan berlubang dan perut rakyat yang masih kosong, motor baru untuk lurah terasa seperti ironi yang berderu di atas aspal retak.
Lebih dari sekadar kebijakan anggaran, program ini menyingkap jarak emosional antara pemerintah dan rakyatnya. Di saat warga menuntut perbaikan fasilitas dasar dan peluang kerja, pemerintah justru sibuk membenahi roda birokrasi. Mungkin motor-motor baru itu memang akan membantu mobilitas perangkat desa. Tetapi pertanyaannya, apakah mereka benar-benar bergerak ke arah yang sama dengan rakyat?***